♦ 15 Juli 2010 Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut. Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru. Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih cepat dari mereka. Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka. Dalam kekalutan peperangan, maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa turun dan bertempur di atas tanah. Para prajurit Pajang pun menyadari pula cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan sinar yang melontar dari daerah maut. Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran. Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas punggung kudanya. Meskipun demikian, keadaan yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan. Sedang anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit. Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ujung tombak Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu mengejarnya. Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat bercerita tentang kematian Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain. Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya, sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin. “Gila” Sidanti menggeram di dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini. Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Orang tua itupun mengumpat pula di dalam hatinya. la tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain. Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat Alap-Alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang bertempur itu. Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-Alap Jalatunda. Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceritakan mampu membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.” Alap-Alap Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat, menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian Sidanti. Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian Alap-Alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknyapun menjadi semakin cepat berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat. Sementara itu, di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya. Tetapi Sonya masih tetap sadar akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah panglimanya sendiri. Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat. Ketika ia memasuki desa kecil yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti. “Kakang Sonya” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?” “Berapa orang di sini?” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu. “Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.” “Kenapa sepuluh?” “Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.” “Bagus,” desis Sonya. “Yang delapan pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah timur simpang empat telah terjadi pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.” “He?” serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede Pemanahan?” “Ya,” sahut Sonya, “jumlah orang Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada Kakang Widura.” “Baik” sahut para prajurit Pajang itu. Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus menyeIesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke banjar desa Sangkal Putung. Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Sebelah timur simpang empat di tengah-tengah bulak di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka segera melihat debu yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu. Kedatangan kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah yang datang?” Pertanyaan itu sebenarya tidak penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang itupun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban, “Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.” “Kenapa hanya beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi. “Kami adalah peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat kademangan Ki Gede.” “Bagus. Ayo, mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat berkelahi dengan baik.” Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun akan tenggelam dalam arus kemarahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.” Tetapi Ki Gede Pemanahan pun segera meyahut, “Kalau benar demikian, alangkah marahnya kami. Karena itu, ayo binasakan orang-orang Jipang yang curang.” Ki Tambak Wedi tidak sempat untuk menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke medan pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar itu ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat kesempatan untuk sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali masih belum seimbang, tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya perlawann mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu. Dalam pada itu ternyata Sonya telah menggemparkan halaman banjar desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir kehabisan tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa banjar desa demikian ia disambut oleh Widura, dan dibantunya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah begitu lemah karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki Tanu Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera mengambil reramuan obat-obatan untuk menghentikan arus darah yang masih saja mengalir dari luka yang menganga di kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa. Tetapi Sonya merasa perlu untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya. Karena itu, betapa perasaan sakit serasa menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran atas kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang terengah-engah. “Aku telah bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.” “Ya,” sahut Untara, “tetapi kenapa kau terluka?” “Aku membawa rombongan prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.” “Ya.” “Semua berjumlah duapuluh orang.” Untara terkejut. “Jumlah itu terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama sendiri.” “Dengan jumlah yang sedikit itu Ki Gede Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah benar-benar menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya seterusnya. Dada Untara berdesir. Ia sendiri yang membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti akan segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan berikutnya, maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan berpindah ke lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan orang-orangnya telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya. Tetapi menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan rombongannya. Dalam pada itu Sonya berkata dengan terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya masih terdengar jelas, “Rombongan kami ternyata dicegat oleh orang-orang Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat mereka sepintas lalu memotong jalanku. Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka meskipun aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam yang dialami oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus. “Seterusnya aku barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau banyak.” Dada Untara serasa akan pecah. Dengan wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu pertanggungan jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba saja berada di perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai Gringsing dan kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu telah berada di padepokan Ki Tambak Wedi. Pancaran mata Untara itu benar-benar terasa menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa pertanggungan jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun Untara telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar. Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah cukup mengendap karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan segera ia dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan menemukan hubungan antara persoalan-persoalan yang diamatinya, telah membawa Kiai Gringsing ke dalam persoalan yang sewajarnya. Orang tua itupun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata, “Ini adalah pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi adalah maksud Ki Tambak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan oleh Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang terjadi akan memberinya peluang untuk bertindak. Ia mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak sependirian dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam pertentangan perasaan yang akan dapat meledak. Ki Tambak Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak yang sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan dapat terbakar karenanya.” Untara menggeretakkan giginya. Sebagian besar dari keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika kemudian Sonya berkata, “Ki Gede Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat dalam pertempuran.” Wajah Untara segera menjadi merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada seorang penghubung yang berdiri di ujung pendapa, “Cepat siapkan kudaku!” Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan kudanya. “Apakah kau akan pergi seorang diri Untara?” bertanya pamannya. Untara menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya, “Berapakah jumlah orang-orang Jipang?” Sonya yang sedang meyeringai menahan sakit berdesah, “Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih dari tujuh puluh orang.” Darah Untara tersirap mendengar jumlah itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka dengan degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai seorang senapati kepada bawahannya, “Paman Widura, siapkan dua puIuh lima orang prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan jawabnya sebagai seorang pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata, “Biarlah Hudaya pergi bersama aku. Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang terluka di dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para prajurit yang kemudian pasti mendengar apa yang telah terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama. Tetapi apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat curang, maka aku sendiri yang akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan banjar ini.” Widura tidak menjawab. Diserahkannya Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang sedang bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah mereka melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata, “Sonya, cobalah merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan keadaan.” Sonya mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan. Beberapa orang yang berada di alun-alun melihat Sonya berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang tidak terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat mereka mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang di alun-alunpun tidak bayak memperhatikanya lagi. Sementara itu, orang-orang yang bertugas di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke gandok wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera mendapat pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing memberikan pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah menunggu kudanya. Tetapi sudah tentu Widura tidak segera dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. Ia harus mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di seluruh kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting. Di dalam banjar desa itu, yang segera dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara berkata, “Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera meyusul. Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu sampai limabelas sekaligus sepeninggalku.” Widura pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang yang melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat, bahwa sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura menjadi sedemikian sibuknya mengumpulkan beberapa ekor kuda. Para petugas yang harus meyediakan kuda-kuda itupun menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa. Setelah kuda yang sepuluh itu siap, maka segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang untuk ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi. Agung Sedayu yang datang kemudianpun menjadi terheran-heran. Ia melihat betapa wajah kakaknya menjadi tegang dan sepuluh ekor kuda telah siap di halaman. Dengan hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya, “Apakah yang telah terjadi Kiai?” Dengan singkat Kiai Gringsing mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia mendekatinya. “Kau ikut bersamaku” perintah kakaknya. “Baik Kakang” sahut Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka segera iapun menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya. Sesaat kemudian berkumpulah sepuluh orang di halaman. Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang tersimpan di dalam hati mereka. Di antara mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu. Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara berkata kepada mereka, “Kalian ikut dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin kita akan berhadapan dengan bahaya.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula, “Tak ada kesempatan untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan Agung Sedayu.” Para prajurit Pajang itu benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke atas punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor kuda yang lainpun segera berpenumpang di punggungnya. “Aku akan berangkat sekarang Paman. Aku serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai Gringsing” berkata Untara. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan dapat melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin salah seorang dari kami akan datang kembali menjemput Kiai.” “Baik” jawab Widura singkat. Untara tidak berkata apapun lagi. Segera ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itupun segera meloncat diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara yang terakhir itupun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di dalam hati para prajurit Pajang yang lain. Kesepuluh ekor kuda itupun kemudian berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa, menghambur-hamburkan debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kembali para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan Swandaru yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di lapangan di muka banjar desa itupun melihat kuda yang berpacu itu sambil bersungut-sungut. Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga apa yang terjadi itupun mereka sangka, adalah rangkaian dari persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan telah direncanakan. Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati yang gelisah. Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia terlambat sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan mengalami bencana, maka lehernya akan menjadi taruhan, bukan soal yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira Tamtama akan kehilangan panglimanya karena kesalahannya. Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang, seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang terjadi adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya kudanya secepat-cepatnya, supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat sampai. Hudaya dan kawan-kawannya berpacu sambil saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya. Ternyata Untara tidak membiarkan mereka berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah meninggalkan induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling, “Kita akan bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat kawan-kawannya kami terima dengan baik.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita hanya bersepuluh?” “Orang-orang Jipang itu tidak terlampau banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk mengawal Ki Gede Pemanahan.” “Ki Gede Pemanahan?” Hudaya mengulangi. “Ya.” Hati para prajurit itu berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu dua di antara mereka ada yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah menjadi buah bibir segenap prajurit Wira Tamtama. Kuda mereka berpacu terus. Sementara itu Hudaya berkata, “Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak dapat dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk berpura-pura menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari yang sebenarnya ditentukan untuk menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang lain akan berdatangan pula, tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal Putung ini karang abang.” “Marilah kita lihat apa yang sebenarnya terjadi” berkata Untara kemudian. “Tetapi jangan terlampau terburu nafsu.” Hudaya tidak menjawab. Tetapi kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak. Karena itulah maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan kirinya membelai hulu pedangnya. Kini mereka menyusup ke dalam sebuah desa kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang, “Hati-hati, awasi keadaan baik-baik.” Para penjaga di gardu itu melihat kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan. Sebelumnya, di pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para penjaga itu merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Ketika mereka memandangi kuda-kuda yang berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui sebuah desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak panjang. Di bulak itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para prajurit Pajang terjadi. Di ujung desa itupun ada sebuah gardu pula. Tetapi yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah bulak itu. Berkali-kali Untara mencoba mempercepat lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya berurutan sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang melekat di wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi. Di tengah-tengah bulak itu pertempuran kian lama menjadi kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan tenaga sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh keringat, dan wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara mereka, para prajurit Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi waringuten. Tetapi karena jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para prajurit Pajang, maka betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang mengalami beberapa kesulitan. Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus bertempur melawan Sidanti berdua dengan Alap-Alap Jalatunda ternyata mampu mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu sekali-sekali mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah melepaskannya dari setiap usaha lawannya untuk membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali Sutawijaya harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh untuk mendapat jarak yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-Alap Jalatunda tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-Alap yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti menyerangnya dengan serangan-serangan maut. Anak muda yang mengagumkan itupun telah bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki bekal untuk melawannya. Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil memperhatikan setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia harus segera mengalahkan lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia tidak akan melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran itu dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya, antara ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing adalah orang-orang sakti pilih tanding. Namun, bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga kesempatan masih lebih banyak baginya daripada lawannya. Demikianlah peperangan itu menjadi bertambah seru. Namun ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali kuda-kuda yang menyambar-nyambar itupun masih juga mampu untuk membuat orang-orang Jipang menjadi bingung. Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira Tamtama. Aku sudah kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan telah aku cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang dan akan menemukan mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku akan aku jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya yang langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat curang.” Tetapi alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi. Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat. Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil menjawab, “Aku akan mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat begitu.” “Kau masih mencoba mengingkari kenyataan ini?” Ki Tambak Wedilah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala hampir-hampir saja menyentuh tengkuknya. “Setan!” teriaknya. Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Kenapa kau mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir binasa?” Ki Tambak Wedi meloncat maju menyerang Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar tangkas, sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat marah menghadapi Panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya. Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya, sehingga tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, “Ayo, kalau kau jantan, turun dari kudamu!” “Ki Tambak Wedi,” sahut Pemanahan, “apakah kau juga akan bersikap jantan?” “Tentu!” teriak Ki Tambak Wedi. “Apakah kau bersedia menjadi penentu dari pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan aku akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi akibat dari perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun kemudian Untara datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku, pertempuran itu akan barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan mati, atau menyerah. Kau setuju?” “Kau benar-benar licik seperti anak demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat itu,” sahut Ki Tambak Wedi, “kita bertemu dalam keadaan ini. Aku dengan orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu. Biarlah kita semuanya yang menentukan keadaan ini.” “Bagus. Kita bertemu dalam keadaan ini. Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah keadaan ini menentukan akhir dari pertempuran.” Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah Widura, Untara, atau Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti. Bahkan terasa bahwa semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itupun menjadi semakin garang. Namun keseluruhan dari pertempuran itu benar-benar tidak menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu, Sutawijaja, terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang datang di atas punggung kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan mencengkam dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik dalam melawan sepasang musuhnya itu. Namun keadaan para prajurit yang lain ternyata agak lebih sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak dikehendaki. Namun lawan mereka telah mencoba menekan mereka sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten yang saling bermusuhan, sehingga dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam pertempuran itu. Matahari di langit merayap semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di atas dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas oleh kaki-kaki kuda dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur. Semakin lama semakin luas, berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Sedang kuda-kuda para prajurit Pajang kadang-kadang berlari-lari melingkari daerah yang lebih luas lagi untuk mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah burung rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik dengan garangnya menyambar mangsanya. Tetapi orang-orang Jipang menyongsongnya dengan pedang di tangan. Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian. Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka. Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan oleh sepihak, sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah tidak lagi dapat bersabar menunggu. Namun demikian pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat diselesaikan. Demikianlah, pertempuran itu berjalan terus. Bagaimanapun juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari kenyataan. Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada di antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi korban. Dalam keadaan yang demikian itulah Untara memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut kudanya, supaya berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung. Sebentar lagi ia akan sampai di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa berlari terlampau lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara semakin lama menjadi semakin menyala. Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului derap kaki kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya. Ia harus bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya sangat malas itu. Meskipun demikian, meskipun kudanya dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan yang ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan. Kini ia melihat, meskipun tidak seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang jagung, betapa riuhnya pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk kudanya sejadi-jadinya. Kuda itupun terkejut dan meloncat sambil meringkik kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara meninggalkan kawan-kawannya beberapa langkah di belakang. Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula. Demikian juga kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian bernafsunya Untara sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran itu, tangannya telah menggenggam pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang menghalau burung di sawah. Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan serunya melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di kejauhan. Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang jagung. Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran. Dada orang tua itu berdesir. Orang yang datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau banyak itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang benar-benar tidak memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja, tidak cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka masih terlampau lemah mereka tidak segera dapat mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang lagi beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak akan sebaik semula. Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin memuncak ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata, “Kau sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?” “Persetan!” geram Ki Tambak Wedi. “Kalau aku menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima semacam kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi bantuan. Kenapa kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang ada padamu? Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan yang bakal datang dengan memperpanjang waktu?” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali lagi ia mengulangi tantangannya, “Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak mau melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita berhadapan langsung di dalam arena. Biarlah aku layani seandainya kau ingin melihat Pemanahan lepas dari kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di segenap sudut Pajang untuk menangkap dan menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau ingin melihat Pemanahan sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya, marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah pihak melihat, siapa di antara kita orang tua-tua ini yang masih cukup mampu bermain loncat-loncatan.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang sulit. Ia harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka, tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat pertempuran itu, anak buahnya harus sudah mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara tanaman-tanaman jagung muda. Seterusnya mereka akan menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka akan sampai ke rumpun-rumpun bambu liar. Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak tahu arti daripada siutan itu menurut persetujuan orang-orang Jipang, tetapi ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orang-orangnya yang telah bertempur di arena itu harus mengundurkan diri. Namun dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata lantang, “Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya, Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang akan datang dari barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar, saudara muda seperguruan Patih Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula Pemanahan? Aku akan datang kembali bersama-sama dengan mereka.” Belum lagi kata-kata itu habis diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang itu berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur sambil mengambil ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang lenyap ke dalam liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan batang-batang jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran sepasukan kecil dari Sangkal Putung menjadi berbesar hati, sehingga dengan demikian mencoba mengejar orang-orang Jipang itu. Namun orang-orang Jipang berlari berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka masih juga menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun jagung yang hijau, namun kemudian mereka kembali menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah untuk dapat mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang. Untara datang terlambat. Pertempuran di bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak. Darah Untara serasa membeku ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang peluhnya seperti terperas dari tubuh membasahi segenap pakaiannya. Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara, seorang anak muda yang menggenggam tombak di tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum membekas darah, tetapi pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai oleh darahnya sendiri. Ternyata lengan Sutawijaya telah terluka justru oleh Alap-Alap Jalatunda, bukan oleh Sidanti. Pedang Alap-Alap muda itu berhasil menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya perhatian Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga Alap-Alap Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak. Tetapi anak muda itu tersenyum dan menyapa, “Kau baru datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina. Sayang, kau tidak dapat ikut serta.” Untara tidak menjawab, tetapi segera ia meloncat dari kudanya dan menghadap Ki Gede Pemanahan sambil membungkuk dalam-dalam. “Aku mohon maaf Ki Gede.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyum yang kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian berloncatan pula dari punggung kudanya dan yang kemudian menyarungkan pedang masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan pedang ketika ia dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan, “Sarungkan pedangmu Untara. Tak ada lagi yang akan kau ajak bermain pedang.” Untara menggigit bibirnya. Sambil menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut matanya, maka dilihatnya Ki Gede pun telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala. “Sambutan yang cukup hangat Untara,” desis Ki Gede Pemanahan. “Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan peninjauanku adalah yang paling hangat yang pernah aku alami.” Kepala Untara menjadi semakin tunduk. Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannyapun menundukkan wajah-wajah mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang Jipang itu tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti akan menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka. “Aku sudah menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang” katanya di dalam hati. “Penyerahan itu hanyalah sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah.” “Aku mohon maaf Ki Gede” desis Untara kemudian. “Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya, “Untunglah aku masih hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu. Kalau aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan menyesal. Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf lagi kepadamu.” Untara tidak menjawab. Terasa tubuhnya bergetar. la merasa memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu. Ki Gede itu kemudian berkata pula, “Berapa orang yang kau bawa itu?” “Sepuluh orang Ki Gede, selain yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan kemudian memandangi kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura. Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya. Dalam pada itu, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan sejenak kemudian tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka. Ketujuh orang itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan segera berloncatan turun. “Berapa orang yang akan datang lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Semuanya paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukan kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu telah mengurangi kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia tidak mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan duapuluh lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan. Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap meskipun kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat merubah keadaan yang telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat dari kekhususannya. Ternyata apa yang dikatakan Untara bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil sebanyak lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai duapuluh lima orang, namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui apabila yang delapan orang diperhitungkan pula. “Jumlah orang-orangmu cukup untuk menyambut kedatanganku Untara” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata kau cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?” Untara mengangguk. “Ya Ki Gede.” “Kenapa hal ini dapat terjadi?” Untara menunduk semakin dalam. Ki Gede Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah terletak segala kesalahan. “Aku percaya pada setiap laporanmu. Aku percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau hampir tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh kali ini. Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu kesulitan.” Untara tidak menjawab. la berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk. Bukan saja Untara yang merasa hatinya bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu. Mereka mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi betapapun baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat kesalahan. Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, “Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi undanganmu. Aku sependapat dengan semua usulmu. Sekarang, terserah kepadamu, apa yang harus aku lakukan.” Dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini? Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata, “Menurut Ki Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah barat yang dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar berbeda pendirian, maka ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara, maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara untuk menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka Ki Tambak Wedilah yang licin seperti belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu bahwa aku akan datang?” Dengan hati-hati Untara menjawab, “Tak seorangpun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri. Sebagian besar dari orang-orang yang datang inipun baru tahu bahwa Ki Gede berada dalam perjalanan, setelah kami berangkat dari halaman banjar desa Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba, apakah sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang sulit itu. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar berkata, “Mari kita teruskan perjalanan ini Ayah. Aku ingin melihat Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka itu. “Coba, tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng” perintah ayahnya. Sutawijaya berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata, “Tidak apa-apa Ayah.” “Tetapi jangan terlampau banyak darah mengalir.” Sutawijaya menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya masih juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi lukanya dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu menggenggam landean tombaknya. Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa. Bahkan ia berkata, “Kakang Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke barat. Aku ingin melihat hutan Mentaok yang menurut Ayah, apabila Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas menjadi sebuah perkampungan.” “Ah,” potong ayahnya, “sekarang kita sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau berbicara menurut seleramu sendiri.” Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Bukankah yang lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di tengah-tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terlukapun segera dapat ditolong dengan cara yang lebih baik.” Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pendapatmu baik.” Kepada Untara Ki Gede Pemanahan berkata, “Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau benar ada orang-orang Jipang yang berada di banjar desa, maka sebaiknya apa yang terjadi ini sementara dirahasiakan supaya keadaan banjar desa Sangkal Putung tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang terbakar perasaannya karena peristiwa ini.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut, “Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang Jipang yang luka-luka di sana.” “Apakah persiapanmu untuk menyambut orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau seandainya mereka menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Menurut perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.” “Aku masih cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu.” Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya. “Suruh orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan banjar desa?” Untara berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus membunyikan tanda bahaya.” Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik. Kita akan berangkat.” Ki Gede Pemanahanpun kemudian meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal Putung. Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan, Untara berkata “Apakah beberapa orang dari kami diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa persiapan.” Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.” Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata, “Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.” Sebelum Untara mendahului rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih sempat melihat panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama. Kepada Untara dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan, “Untara, kalau kau masih mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.” Untara mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.” Untara itupun kemudian mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa. Beberapa orang melihat Untara dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi mereka. Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana? Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan, “Apakah kau terlambat Untara?” Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah, “Ya Paman.” “He?” darah Widura serasa membeku, “lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?” “Sebentar lagi Ki Gede akan datang.” “Oh” Widura menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?” Baru Untara kini menyadari, bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya, “Tidak Paman, Ki Gede Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata, “Dadaku selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?” “Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka tidak mendengar percakapan itu. Akhirnya Untara itupun berkata, “Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.” Widura menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang itu telah menghadap di depannya maka katanya, “Bunyikan tanda bagi para prajurit di alun-alun.” Orang itu memandang Widura dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia bertanya, “Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.” Widura mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap. “Tanda bahwa akan datang tamu agung di banjar desa ini.” “Tamu agung?” “Ya.” “Siapa?” “Cepat, kau akan melihat nanti.” Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua. Para prajurit yang berada di alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu. Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka. Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka, “Siapakah yang bakal datang?” Semua orang saling menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itupun segera mendesak maju. Untara dan Widura beserta beberapa orang pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar. Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat dikelabuinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya. Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir, maka rencana itupun harus mendapat perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar desa itupun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik, “Apakah orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?” Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya, “Tentu tidak.” “Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.” “Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini” sahut orang yang diajak berbicara. “Tidak hanya memaki” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu. “Aku akan melempar mereka dengan tombakku ini.” Pembicaraan itu segera terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.” “Setan” desis salah seorang prajurit. “Apakah benar mereka orang-orang Jipang.” “Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah timur.” Merekapun kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut bukan kepalang. Rombongan yang semakin lama menjadi semakin dekat itu ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba dengan serta-merta mereka pun bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang. Orang-orang yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itupun berteriak, “Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.” “Kau dengar kata-kata itu?” bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang. “Apakah betul mereka menyebut nama Ki Gede Pemanahan?” Mereka pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju, sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin dekat. Yang pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula mulut mereka berdesis, “Panji-panji itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima Wira Tamtama.” Sejenak para prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama, datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka pun menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan. “Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?” Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, “Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka. Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira. Karena itu, karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput kuping. Sejenak kemudian maka banjar desa itu pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang tidak terlampau luas. Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali, bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada Widura, “Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung kita?” Widura mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.” “Ah,” desah Ki demang, “itu terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.” “Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit” sahut Widura. “Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan kepadanya.” Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, “Swandaru, pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan dari Pajang.” “Hidangan apa Ayah?” “Makanan, makan siang dan minuman.” “Rujak degan.” “Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri.” Ki Demang terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan berjalan di halaman itu menyahut, “Ayah senang sekali rujak degan.” Ki Demang memandangi anak muda itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain di belakangnya. “Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” “Oh” Ki Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang. Swandaru yang mendengar nama itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata, “Aku mengagumi Tuan melampaui segala-galanya.” “Ah” anak muda itu berdesah. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan rujak degan itu?” Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya, “Kami terlampau haus. Apakah di sini ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.” “Jangan, jangan” cegah Swandaru. “Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.” Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang diminta oleh Sutawijaya. Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak berpakaian atau bertanda apapun sebagai seorang prajurit. Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bukankah kau yang datang bersama Kakang Untara?” Anak muda itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.” “Siapakah namamu?” “Agung Sedayu.” “Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?” “Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama.” “Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?” “Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, “Dari manakah kau?” “Jati Anom.” “Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan Kakang Untara?” “Aku adiknya.” Sutawijaya tertawa. “Pantas” katanya. Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya. Tetapi anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan Untara dan Widura sekali pun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah. “Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya. “Belum, Tuan.” “Sejak Paman Widura di sini?” Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.” “Oh” Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat sesuatu. Katanya, “Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?” Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya. “Bukankah begitu?” Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya, “Ya, Angger Agung Sedayulah yang telah membawa berita itu. Berita yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.” “Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan.” Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi pembicaraan itupun segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa banjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula duduk di antara mereka. Alangkah tegang sikap Demang Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorangpun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana ini. Namun dalam pada itu, Untaralah yang seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya, “Apakah tidak segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?” Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang jagung.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak disangka-sangkanya. Rujak degan. Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata, “Ki Gede, Puteranda mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Sutawijaya berkata sebenarnya.” Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya. Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal Putung?” “Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini” sahut Sutawijaya. “Kenapa kau juga tidak naik?” Agung Sedayu tersenyum, katanya, “Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.” Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata, “Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa pula. Beberapa orang yang mendengar mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara para tamu yang datang dari Pajang. Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Tuan apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti tidak akan muat.” “Ya, bedanya apa?” desak Sutawijaya. “Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di sini.” Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di pendapa pun berpaling kepadanya. Tetapi suara tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling kepada Untara. Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat. Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, “Apakah kau gelisah karena matahari telah cukup tinggi?” Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.” Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar. “Maaf Untara” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula. “Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang telah aku tetapkan sendiri.” Jantung Untara terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada Panglima Wira Tamtama itu. Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja. Karena Untara tidak menjawab maka Ki Gede Pemanahan berkata pula, “Untara, kalau kau masih mempunyai kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah bersedia.” Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada, “Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba.” “Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.” Untara pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa. Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura, “Paman, di manakah Kiai Gringsing ?” Widura mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak melihatnya Untara.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya. Widura yang kemudian pergi ke lapangan di muka banjar desa itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para prajurit Panjang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun segala kemungkinan dapat terjadi. “Kami tidak percaya kepada mereka” tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata. Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang. “Jangan merusak rencana, Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.” “Apakah yang terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.” “Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.” “Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?” “Karena itu marilah kita berada dalam kesiapsiagaan yang penuh.” “Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan waktu dan perhitungan.” “Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.” Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus dijalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya, “Apakah yang kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?” Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga iapun bertanya pula, “Apa kata Sonya?” “Pertempuran di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya” sahut orang itu. Kini dada Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang, bahkan lebih, telah mendengar peristiwa itu. “Apakah Sonya telah menceritakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura. Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah membisu, maka iapun menjawab, “Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak memanggil nama Untara.” Widura mengerutkan keningnya. la tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu. “Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?” “Ya,” sahut orang itu, “tetapi kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.” Debar di dada Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah memancarkan tuntutan kepadanya. Namun Widura itu kemudian menjawab, “Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.” Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, “Sekarang, lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan.” Hudaya menggeleng lemah. Desisnya, “Aku tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.” Widura memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain. Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya, “Hudaya. Aku minta bantuanmu.” Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta. Maka jawabnya, “Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.” Widura menarik nafas panjang. Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari cerita tentang tegal jagung itu seandainya cerita itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya. Tetapi Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau. Agaknya satu dua orang itu telah bercerita kepada orang-orang lain lagi, sehingga dalam saat yang pendek, cerita itu pasti sudah akan tersebar di seluruh Sangkal Putung. Sudah tentu cerita itu menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian cerita tentang Sonya itu dibisikkannya kepada Untara. “Celaka,” Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?” “Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Cerita itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah, maka iapun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya. Tetapi Untara belum mendapat kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada pamannya, “Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.” Pamannya mengangguk. la terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar Sangkal Putung. Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata, “Aku akan ikut ayah melihat orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?” “Ya. Aku akan ikut pula” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum. Ia senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama pula. “Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu. “Ayah akan memimpin mereka” sahut Swandaru. “Marilah kita pergi bersama-sama” ajak Sutawijaya. Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi Sutawijaya itu berkata, “Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.” Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata, “Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?” “Tidak, Tuan” jawab Untara. “Kenapa?” “Aku dan Paman Widura harus pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka.” “Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?” Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau Untara telah memberinya kepercayaan?” “Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti kau.” “Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.” Ki Gede pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan. Agung Sedayu sendiri menjadi sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata, “Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.” Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.” Demikianlah akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. “Kita pergi berkuda” ajak Sutawijaya. “Tetapi yang lain berjalan kaki” sahut Agung Sedayu. “Biar sajalah, kita pergi berkuda.” Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya? Katanya, “Aku akan minta ijin Kakang Untara.” “O” desah Sutawijaya, “kau selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.” “Ayolah” desak Swandaru pula. Anak itupun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda. Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata, “Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara.” Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya berkuda. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan, “Agung Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kaupun wajib memperingatkannya.” “Baik, Kakang” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni. Sementara itu, pasukan yang berada di alun-alun pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara selesai dengan semua persiapan, maka merekapun segera keluar dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka. “Baik Ki Gede” sahut Untara. Namun keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke puncak langit. “Hanya sebentar” desis Ki Gede Pemanahan. Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya. Setelah para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata, “Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.” Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yang telah dikatakan oleh Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang bertambah-tambah atas panglimanya. “Nah,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi.” Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil berkata, “Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan ini. Marilah kita berangkat.” Untara menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum. Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itupun telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putunglah yang justru akan lebih sulit dikendalikan. “Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.” Namun sekali lagi Widura mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar Sangkal Putung. “Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang. Pemimpin kelompoknya yang mendengar segera berkata, “Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit Wira Tamtama.” “Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di tegal jagung pagi tadi.” “Ki Gede Pemanahan bukannya seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu, kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.” Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya. Widura yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar cerita tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya. Ketika kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya. “Kalau mereka melihat orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan sekali” sahut Untara. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagaimana pertimbanganmu Untara.” “Padahal, menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.” Saat yang paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya, “Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat menguasai seluruh keadaan.” “Kita hanya berdua” desah Widura. Untara menarik nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda. “Hem,” Untara menarik nafas, “biarlah kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila terpaksa.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia berkata, “Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang ditempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.” “Tetapi rencana dari pada peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat dibebankan pada Paman sendiri.” “Aku adalah pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur baur. “Paman jangan terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Mudah-mudahan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita berdua tidak berdiri sendiri.” “Mudah-mudahan” sahut Widura kosong. Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri mereka. Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari merayap terlampau cepat. Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam, “Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.” Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” Untara menggeleng, “Tidak apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa Benda?” “Ya” Widura mengangguk. Kemudian merekapun terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Dihadapan mereka berjalan Ki Gede Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula disisi mereka. Tanpa mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan. “Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Ya, Ki Gede” jawab Untara singkat. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang merayap-rayap. Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa sikap itupun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatupun yang mencemaskannya. Tetapi Untaralah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang penghubung harus mendahului dan melihat keadaan. Namun hati Untara itupun kemudian berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan persawahan. Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaya berkata, “Kakang Untara, kami bertiga akan mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.” Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut, “Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.” Sutawijaya tertawa, katanya, “Apakah Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani menjebak kami di desa itu.” “Belum tentu Adi,” sanggah Untara, “segala kemungkinan akan dapat terjadi.” Tetapi Sutawijaya tertawa terus. Katanya, “Bukankah orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?” Untara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah.” “Karena itu, Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.” Sekali lagi Untara tidak dapat mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi mendahului barisan. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap maksudnya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu. Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di antara beberapa orang perwira pengawalnya. Akhirnya Untara tidak kuasa lagi mencegah Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu berkata, “Kami akan berhati-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia berkata, “Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal Putung yang subur ini.” Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya sekarang ini.” Sekejap kemudian mereka melihat kuda anak muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung Sedayu masih sekali lagi berkata kepada kakaknya, “Aku mendahului Kakang.” “Hati-hatilah” sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah mendahuluinya. Agung Sedayu pun kemudian memacu kudanya. Ia membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di ujung barisan, di belakang tiga orang prajurit yang membawa panji-panji kebesaran, melekat pada landean tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya. Yang tampak kemudian hanyalah kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah berdebu. Di belakang berpacu Swandaru Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan pada tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu pedangnya. Dalam hati ia berkata, “Besok aku akan mencari tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu. Pedangku akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading gajah dengan juntai yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.” Swandaru itupun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat. Ketika ia berpaling, dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu meluncur seperti anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek. Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia menjadi gembira sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka mendapat kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian, ketika kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru melecut kudanya. Ia tidak mau jarak itu menjadi bertambah pendek bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh. Tetapi Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya. Anak muda itu ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan ketika sekali ia berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawan-kawannya itu. Sesaat kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua orang yang lain tergantung pedang. Bulak itu memang merupakan bulak yang agak panjang. Tetapi karena ketiga anak-anak muda itu berkuda, maka segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah melihat mulut lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda. Ternyata sutawijaya yang jauh lebih berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua kawan-kawannya memperlambat kuda-kuda mereka. Demikianlah semakin dekat mereka dengan desa Benda, semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kuda-kuda itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki. “Mulut lorong itu seperti mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya” gurau Sutawijaya. Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. “Tetapi ular itu, ular mati” sahut Swandaru. Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah tidak ada penjagaan di desa ini?” “Ada,” sahut Swandaru, “di ujung lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.” “Di ujung ini?” Swandaru menggeleng, “Tidak” jawabnya. Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Aneh,” katanya, “seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat mengambil jalan ini? Mereka hanya cukup menambah beberapa langkah dengan melingkar desa ini, kemudian masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga. Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di ujung lain diberi gardu peronda?” “Desa ini adalah desa yang hampir tak berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu maka orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadang-kadang mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang. Namun dengan demikian, banyak keterangan yang kita dapatkan dari penghuni-penghuninya. Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja kita tanam di sini” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu mengenai desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang cerdik. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi dengan demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?” “Penjagaan itu baru diadakan sejak pagi ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.” Kembali Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Mari, kita temui para penjaga itu.” “Marilah” sahut Agung Sedayu. Kini mereka bertiga telah sampai di mulut lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau sepi, seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa desa itu adalah desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang terpelihara. Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sana-sini masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. “Desa ini memang sepi,” gumam Sutawijaya, “apakah dalam kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?” “Tidak jauh berbeda,” sahut Agung Sedayu, “hanya kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila seseorang mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang bermain-main. Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak lebih senang tinggal di dalam rumah masing-masing.” “Kehidupan yang tertekan” gumam Sutawijaya. “Bukan hanya desa ini. Bukan saja Benda, tetapi banyak desa lain, yang tersebar berserak-serak antara kademangan ini dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi agaknya Sangkal Putunglah yang paling menarik perhatian bagi orang-orang Jipang.” “Kenapa Sangkal Putung?” “Sangkal Putung adalah kademangan yang kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi Swandaru? Putera Ki Demang ini tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam kademangannya. Penduduknya yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka telah berhasil membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya terbuat dari gading yang mahal.” Sutawijaya tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada gading. “Ya,” desis Sutawijaya, “bagus benar hulu pedang itu.” “Lebih bagus lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas seperti pada tombak Tuan.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau senang pada tali ini?” “Ya, Tuan.” Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai tali kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya. Mata Swandaru menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan, “Ya Tuan.” “Pakailah. Aku masih mempunyai tali semacam ini banyak sekali di rumah.” Swandaru menjadi gembira sekali menerima tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan pedangnya bertambah cantik. Tetapi wajahnya yang gembira itu tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin lama semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu agak jauh dari lorong itu. Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula. “Asap apakah itu?” desis Sutawjaya. Agung Sedayu menggeleng, “Entahlah.” “Marilah kita menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin besar itu?” “Marilah” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng. Sesaat kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong. Para penjaga di gardu itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka, bahwa yang datang itu adalah para penghubung. Karena itu, maka mereka tidak segera menyongsongnya. Tetapi ternyata yang datang adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka kenal. Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum sambil menyambut kedatangan mereka. “Marilah anak-anak muda. Aku kira beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di sini. Ternyata kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?” “Tidak, Paman” sahut Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Jadi kenapa Angger kemari mendahului barisan?” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya. “Kami hanya bermain-main Paman.” Orang itu menjadi heran. Jawaban itu hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya. Agung Sedayu melihat kesan yang tergores pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera ia ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, “Paman, mungkin Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” Wajah yang berkerut-kerut itu tiba-tiba menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar nama itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit Pajang. Nama yang ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang. Bukan saja pemimpin penjaga itu yang menjadi tegang. Para prajurit yang lainpun tidak kalah terkejutnya. Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan kami Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal Tuan.” Sutawijaya tertawa. Tetapi ia berkata, “Jangan membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu.” “Asap?” desis penjaga itu. “Jadi kalian belum melihat asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin besar. “He?” teriak kepala penjaga itu. Ia menjadi sangat terkejut. “Asap apakah itu?” Para penjaga yang lain menjadi terkejut pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak seorangpun dari mereka yang tahu apa yang telah terjadi. “Lihat, asap apakah itu” perintah kepala penjaga. Ketika seseorang telah siap untuk meloncat berlari ke arah asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi setiap persoalan itu mencegahnya, “Jangan.” “Kenapa Tuan?” “Mungkin Bahu Reksa Benda sedang marah, atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di sini biarlah kami yang melihatnya.” “Kenapa Tuan?” bertanya penjaga itu. Sutawijaya tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung Sedayu. “Apakah kalian menyediakan kuda pula?” “Ada dua ekor kuda di sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.” “Kentongan raksasa itu?” “Kalau perlu kami harus memukul tanda-tanda.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil menyerahkan kendali kudanya ia berkata, “Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini. Kami akan melihat apa yang terjadi.” “Baik Tuan” sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda itu. Sesaat kemudian Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang mengepul kehitam-hitaman itupun menjadi semakin besar. Bahkan kemudian mereka melihat lidah api menjilat ke udara. “Api” desis Sutawijaya. Anak muda itu kini tidak tersenyum lagi. “Kita ambil jalan memintas,” katanya sambil meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mengikutinya pula meloncati dinding halaman. Tetapi sebelum mereka berlari melintasi halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil berkata, “Jangan berbuat apapun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa yang terjadi.” Para penjaga masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya Tuan.” Namun Sutawijaya itupun kemudian tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak. Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu, “He, siapa yang berada di gardu peronda?” Para penjaga itu tidak segera menjawab. Merekapun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan. “Siapakah itu?” desis Swandaru. Sutawijaya kini telah merendahkan dirinya dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis. Swandaru dan Agung Sedayupun terdiam. Kini merekapun berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati mereka menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui suara siapakah yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini. Sekali lagi mereka mendengar sebuah pertanyaan, “Siapakah yang berada di gardu ronda?” Sesaat tidak terdengar jawaban. Namun wajah para penjaga itupun menjadi tegang ketika mereka mengenal orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan mereka. “Bukankah kau Wira Lele?” terdengar kembali suara itu. Swandaru hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat. Tetapi mereka bertiga yang berada di dalam halaman itupun terkejut pula ketika mereka mendengar kepala penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?” “Ya, aku sudah rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti kumis seekor lele kurus.” Wira Lele, kepala penjaga itu menggeram. Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula. “Ha, kau mau bergurau?” bertanya Sidanti. “Berapa orang semuanya?” Wira Lele tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara Sidanti semakin dekat. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang di dalam gardu? Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis kalian ini.” Wira Lele membelalakkan matanya yang memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling memandangi kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti, “Jangan mencoba menyentuh kentongan itu.” Dada Wira Lele menjadi berdebar-debar. Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan membakar jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di hadapannya. Ia menyadari kekuatan Sidanti. Apalagi ketika kemudian Sidanti itu berkata, “Wira Lele, mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau belum, namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, sedang yang lain, yang seperti arang ini adalah Sanakeling.” Jantung Wira Lele seakan-akan menjadi berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar orang-orang seperti kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh. Namun terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua puluh lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau? Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal Putung itu?” Sidanti tertawa, tetapi ia tidak menaruh perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada Sanakeling. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, “He, Wira Lele. Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu maksudnya? Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba kepada induk pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk Kademangan Sangkal Putung, telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tanda itu adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?” Sekali lagi terdengar Wira Lele menggeram. Tanpa disengaja maka iapun beringsut mendekati kentongannya. Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, “Kentongan itu tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian yang akan memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian katanya lebih lanjut, “Nah, aku ternyata memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka orang-orang Jipang itu akan menyerah? Tidak, mereka akan menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal Putung. Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi kalian akan mati. Begitu?” Wira Lele tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak kayu. “Kenapa kau berdiam diri?” bertanya Sidanti. “Kau harus marah. Mengambil sikap dan marilah kita bertempur. Waktuku hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki pedukuhan ini.” Tetapi Wira Lele tidak bergerak. “Bunuh saja mereka” terdengar desis Sanakeling dalam nada yang berat. “Buat apa mereka dibiarkan hldup? Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang dijumpainya. Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia menerima kami menyerah. Dan ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka bujuk dengan akal yang licik seperti demit.” Wira Lele masih membeku. Namun digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata lagi, “Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku dengan darah kelinci.” “Aku tidak sabar menunggu kalian berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang Pajang menjadi semakin deka,” sela Alap-Alap Jalatunda. “Pengecut” desis Sanakeling. “Kenapa?” “Kau takut kalau orang-orang Pajang itu akan melihat hidungmu.” Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila Ki Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?” “Persetan!” desis Sanakeling. “Nah, karena itu marilah kita selesaikan pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya akan mengotori tangan-tangan kita.” Alap-Alap Jalatunda tidak menunnggu Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah maju sambil mengayun-ayunkan pedangnya, “Ayo, siapa yang terdahulu? Kalau masih ada orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersama-sama.” Tetapi di dalam gardu sudah tidak ada orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang itu. karena itu maka Alap-Alap Jalatunda berkata, “Serahkan kelima-limanya ini kepadaku.” “Jangan sombong” potong Sanakeling. “Ambilah tiga. Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya pedang-pedang kami tidak berkarat.” Yang terdengar adalah geram Wira Lele. Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia menyesal, bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang. Bukan untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih berhati-hati. Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju semakin dekat, maka tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik dinding batu di tepi jalan itu ia mendengar suara. “Siapa lagi yang masih berada di dalam gardu?” Bukan saja Alap-Alap Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara itu sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping jalan itu. “Hem” Sidanti menggeram. “Ternyata yang lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding halaman.” Terdengar suara dari balik dinding itu menyahut, “Ya, kami bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya, sebagai takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap cengeng, perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda yang gagal dalam bercinta menurut istilah Sanakeling.” Suara dari balik dinding itu ternyata telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para penjaga gardu itupun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan sengaja telah menghinanya pula. Sidanti menggeram seperti seekor harimau kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri saja seperti patung. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang berani menghinanya sedemikian menyakitkan hati. Tiba-tiba terdengar Sidanti membentak, “He, siapa kau?” “Kami adalah satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu” jawab suara itu pula. “Gila!” teriak Sidanti. “Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.” Kini yang terdengar adalah suara tertawa. Di antara derai tertawa itu terdengar kata-kata, “Jangan marah. Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti, atau Alap-Alap Jalatunda?” “Persetan!” teriak Sidanti. “Keluar dari persembunyian itu.” “Tidak sekarang.” “Kapan?” “Nanti, kalau para prajurit Pajang sudah datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak. Sesaat lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi yang mencegat mereka di bulak jagung?” “He?” pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di belakang dinding itu mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu, Sidanti tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah, “Jangan Sidanti. Mungkin di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap menyobek perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat itu Arya Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan kewaspadaan?” “Hem” kembali Sidanti menggeram. “Tetapi mereka tidak mau keluar dari persembunyiannya.” “Marilah kita tunggu.” “Sehari, sebulan atau sampai orang-orang Pajang datang?” Tiba-tiba Sanakeling berkata, “Biarkan mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita akan mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau cerdik Sanakeling. Mari, kalau orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga dari persembunyiannya kita cincang saja para penjaga ini.” Tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau siram dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari lubangnya.” Kemarahan telah menghentak-hentak dada Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka menunggu, siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum menampakkan dirinya. “Hem,” kini Alap-Alap Jalatundalah yang menggeram. “Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin benar juga kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu datang sebelum kita meninggalkan tempat ini karena terikat oleh permainan yang gila ini.” Sanakeling tidak menjawab. Tetapi matanya benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia cukup hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh ujung tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling baik adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak, “Jangan hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para penjaga ini lebih dahulu.” Tetapi tanpa disangka-sangka, mereka kini dikejutkan oleh suara lantang, “Aku akan keluar dari persembunyian,” disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas tanah, maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap. “Hem. Aku menunggu kalian terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya.” Mata Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak muda dengan sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat seorang anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat dinding itu pula, disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang gemuk, sedang memanjat dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itupun terjun pula dari atas dinding halaman. “Agak hati-hati sedikit Swandaru” berkata Sutawijaya. “Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa.” Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang memandangnya pula dengan sinar kemarahan. “Jangan kau tampar aku kali ini Sidanti” desis Swandaru. Sidanti menggeram. Kalau tidak ada Sutawijaya di hadapannya ia pasti sudah meloncat dan menampar mulut yang gembung itu. “Kau sudah mengenalnya?” bertanya Sutawijaya kepada Swandaru. “Aku sudah kenal terlampau rapat Tuan” jawab Swandaru. “Kalau demikian, siapakah yang disebut Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung? Bukankah kau anak Demang Sangkal Putung itu?” Wajah Swandaru menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi semerah darah. Bukan saja mereka, bahkan Agung Sedayu pun merasa wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum, maka Agung Sedayu itupun segera menundukkan wajahnya. Mendengar senda gurau itu darah Sidanti benar-benar telah mendidih. la merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda itu sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa kemarahannya telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak, “He kau anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari dengan siapa kalian berhadapan?” Tetapi tiba-tiba Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari kata-katanya. Anak muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi datang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima Wira Tamtama Pajang. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sutawijaya, “Tentu Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa aku berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, yang hitam seperti arang adalah Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu, he Swandaru?” berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah Swandaru, “adalah anak muda murid Ki Tambak Wedi yang garang itu.” Karena kemarahan yang telah memuncak, maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci. la berdiri saja mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya beradu. Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah ia melihat siapakah yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda pasti tidak puas dengan pertempuran yang terjadi di bulak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu berusaha memancing kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali bukanlah suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang yang akan menyerah, tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari peristiwa pagi tadi. tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda, Sutawijaya berkata, “Paman Wira Lele, bukankah Sidanti menyebutmu Wira Lele?” bertanya Sutawijaya. Tanpa sesadarnya Wira Lele mengangguk, “Ya Tuan.” “Nah, ambilah kudamu. Pergilah menemui barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa ini. Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka melihat asap dan api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Kau harus menemui Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api, maka apinya telah menjilat gardu sehingga gardumu dan setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan terus, supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat kembali, tidak mendahului mereka dan terjadi persoalan-persoalan di luar kehendak kedua belah pihak karena pokal Sidanti.” Kata-kata itu bagi Sidanti dan kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan runtuh menimpa dada mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang. Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian adalah geram Sanakeling, “Wira Lele, kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu adalah saat kematianmu.” Wira Lele tidak beranjak. Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah Sutawijaya, tetapi ancaman Sanakeling telah mencegahnya. “Jangan takut Wira Lele” berkata Sutawijaya. “Serahkan ketiganya ini kepadaku.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga orang, sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan Pajang yang lain akan segera datang pula.” Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan sebelumnya, namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat jantung Sidanti dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari kedua belah pihak, seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan sidanti bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi mereka. Lebih tajam dari sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti harus mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak segera dapat mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini Sutawijaya itu berkawan tujuh orang, sedang dirinya sendiri hanya berkawan dua orang. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sutawijaya berkata pula, “Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang Untara mengambil sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang Jipang yang menyadari kedudukannya.” “Baik Tuan” jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya. “Jangan mengganggu, Sanakeling” desis Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira Lele. Kemudian tanpa berkata apapun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di samping gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih belum sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi kendalinya. “Pakai kudaku” teriak Swandaru dari sisi yang lain. Sutawijaya berpaling, kemudian katanya, “Ya, pakai kuda itu supaya lebih cepat.” Wira Lele pun kemudian menerima kendali kuda Swandaru. Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan orang-orang Jipang di ujung lorong ini. Orang-orang Jipang yang telah siap menerkam pasukan Pajang yang mendatang.” Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan daripada anak muda itu. Sutawijaya menjadi jengkel melihat kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum sambil berkata, “Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau benar orang-orang Jipang akan menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti tidak akan sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau dua rumah. Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti segera akan bersiaga. Karena itu, cepat, pergilah. Sampaikan kepada Kakang Untara seperti pesanku.” Wira Lele yang ragu-ragu itu tidak segera menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin jengkel tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itupun terkejut dan meloncat berlari. Wira Lele yang berada di punggungnyapun terkejut pula. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan keseimbangannya. “Hati-hati Paman” teriak Sutawijaya. “Berpeganglah kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.” Kuda itu berlari terus. Derap kakinya menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika kuda itu menjadi semakin jauh, maka iapun menjadi semakin tenang. “Anak-anak itu bukan main” desisnya. “Mereka menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang bermain-main saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka leherku pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu.” Sambil berkumat-kamit mengucap sukur atas keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia harus segera menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia ragu-ragu. Berita apakah yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata sebenarnya, apakah ia harus berkata menurut pesan Sutawijaya? “Aku harus berkata sebenarnya” desisnya kemudian. “Supaya Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan.” Dalam pada itu, Sanakeitng yang berdiri terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ingin ia meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke jantungnya. Karena itu, maka sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda itu. “Nah, apa katamu sekarang?” tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya. Sanakeling menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Sejenak mereka terpukau dalam kesenyapan. Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam puncak kesiagaan. Sidanti, Alap-Alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalaman dalam medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga betapapun kemarahan membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah merayap segala macam kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak seharusnya mereka membiarkan diri mereka terjebak dan terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda yang mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu adalah anak-anak muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah mengenal mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka berkelahi di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama tergenggam senjata. Sedang seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran mereka berdua, Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Selagi mereka diam menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kalian lakukan?” Sidanti tidak segera menjawab. Juga Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin gelisah, karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. “Sekarang, anggaplah keempat penjaga gardu itu tidak ada” berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. “Kita berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.” Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata, “Jangan ganggu kami. Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di dalamnya. Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian ributkan. Seandainya kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya.” Para penjaga gardu itu terpaku diam. Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka berdiri saja dengan mulut ternganga. “Ayo, berbuatlah sesuatu” berkata Sutawijaya. “Jangan kalian biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren. Ayo, Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru memilih yang kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih yang hitam gelap, begitu?” Yang terdengar adalah gemeretak gigi Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera akan mulai.” Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu gading. “Inikah Alap-Alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap itu dengan ujung pedangnya. Hati Alap-Alap muda itu menjadi sangat panas, sehingga dengan serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya. Ketika kedua pedang itu berdentang, alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu. Dentang kedua pedang itupun seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai. Sejenak Sutawijaya dan Agung Sedayu sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya terasa menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-Alap Jalatunda adalah anak muda yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya, murid Kiai Gringsing itu menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu. Tetapi kini pedang Swandarulah yang terayun memukul pedang Alap-Alap Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-Alap Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru, sehingga Alap-Alap yang lincah itu berkata di dalam hatinya, “Hem gajah kerdil ini memang benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.” Kini Alap-Alap Jalatunda mengetahui bahwa tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui kekuatan tangannya. Ia tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini. Demikianlah perkelahaian mereka menjadi bertambah seru. Bukan saja Alap-Alap Jalatunda yang menyadari kekuatan dan kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula, bahwa anak muda lawannya itu dapat bergerak selincah burung alap-alap di udara. Sekali menukik menyambar, namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena itu, maka Swandaru harus menghemat tenaganya. Ia tidak pernah dengan tergesa-gesa mengejar lawannya apabila Alap-alap itu meloncat beberapa langkah ke samping atau sengaja surut ke belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada. Dibiarkannya lawannya berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau Alap-alap itu melontar agak jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang bersilang di hadapan perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak pinggang. Alap-alap Jalatunda menggeram melihat sikap Swandaru yang tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itupun menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk menghadapinya. Sidanti dan Sanakeling masih sempat menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut musuh. Bukan memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih ringan. Karena itu, betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya, “Ayo, siapakah lawanku? Yang membawa tombak atau kawan lamaku yang bernama Agung Sedayu?” Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir berhadapan dengan Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata, “Biarlah ia melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ untuk melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang Alap-Alap yang jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai aku. Sekarang aku ingin menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan ujung tombakku.” Kata-kata itu terasa sepanas api yang menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat Iawannya menghindarinya sambil merendahkan diri, secepat ilu pula ujung nenggalanya menyambar seperti tatit. Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti bergulung-gulung melanda Sutawijaya. Terdengar Sutawijaya memekik kecil. la benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Sidanti yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan dari perkelahiannya. Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Sambil tersenyum ia berkata, “Dahsyat. Alangkah dahsyatnya murid Ki Tambak Wedi yang menurut cerita mampu menangkap angin. Mari anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang menarik ini.” Sidanti tidak membiarkan lawannya. Begitu ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta ia mengejarnya. Namun kini Sidantilah yang terkejut, ketika tiba-tiba saja ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya. “Gila!” teriaknya. Pedangnya dengan tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut, sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya. Perkelahian antara Sidanti dan Sutawijaya itupun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah dianggap mampu melawan Arya Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak kemudian ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun umurnya masih lebih muda daripada dirinya, tetapi kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan senjata telah benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak Wedi itu. Sanakeling yang melihat kedua kawannya telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu telah menggenggam pedang, maka segera iapun meloncat maju sambil berkata, “Kita bertemu kembali dalam kesempatan yang luas. Kita masing-masing tidak akan terganggu lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita harus menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar.” Agung Sedayu tersenyum. Ternyata Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat Tohpati terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya. Hati Sanakeling itu menjadi membara melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik tinggi. Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu. “Hem” desisnya. “Suaramu mirip gemuruhnya petir di langit.” Sanakeling tidak menyahut. Geraknya menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai. Tak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan. Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas dengan serangan pula oleh Agung Sedayu. Demikianlah maka ketiga anak-anak muda itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan Alap-Alap Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya berhadapan dengan Sidanti. Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang, namun lawannya benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya mematuk-matuk dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu terasa, betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini menghantui anak-anak muda sebayanya. Hati Sidanti benar-benar menjadi panas, ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih saja dilihatnya Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar ia berkata, “Sidanti, aku sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah meneteskan darah dari tubuhku, maka akupun harus berbuat serupa. Meskipun sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk membunuhmu. Entah nanti, apabila keringatku telah membasahi landean tombakku dan kau masih saja berkeras kepala mungkin aku mengambil keputusan lain.” Yang terdengar adalah geram Sidanti. Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang dengan pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu mampu menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itupun kemudian benar-benar ingin melakukan apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannyapun semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Sidanti yang pernah bertempur melawan Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu, maka terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin baginya untuk mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lainpun ternyata telah menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak pengalaman Sanakeling dalam petualangannya, namun menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi serangan-serangan anak muda itu. Sedang di sisi yang lain, Swandaru bertempur dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh sekali, dibandingkan dengan apa yang pernah dimilikinya pada saat pertama kali ia menerima pelajarannya di pinggir kali. Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia merasa bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia mendengar Kiai Gringsing mengajaknya bermain loncat-loncatan di atas batu. Kini Swandaru telah cukup lincah memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap. Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun kemana Alap-Alap Jalatunda meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan pedang terjulur. Dalam pada itu, di luar desa Benda yang kecil, Ki Tambak Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. Ia telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan api yang menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai awan yang terbang rendah dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi Sidanti sama sekali tidak segera dilihatnya. Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk di pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda yang tidak seberapa jauh. “Setan kecil itu apa lagi yang dilakukannya” gumamnya. “Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis.” Namun Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan. Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir dan kemudian berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke desa itu. “Lebih baik aku kerjakan sendiri” gerutunya. Ia menyuruh muridnya membakar beberapa rumah dengan pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan ditemuinya prajurit yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama kedua kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit Pajang yang pasti segera akan datang. Tambak Wedi itupun menggeram. la telah menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah meninggalkan induk kademangan. Berlari-lari penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda yang kecil. “Anak gila” geram Tambak Wedi. Menurut perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di tengah-tengah bulak yang agak panjang itu. bersambung Posted in Buku 011 - 020 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Alap-Alap Jalatunda, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Ki Widura, Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya / Panembahan Senapati, Sanakeling, Sidanti, Swandaru, Untara
SH Mintardja. Seri: Api Di Bukit Menoreh. Cerita ini merupakan Seri ketiga dari Kisah Agung Sedayu dan Panembahan Senopati. "Cuplikan : Agung Sedayu, kau tidak usah takut. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa karena anak ini akan menjadi tanggungan. Jika kau tidak kembali dalam waktu yang kami anggap cukup, maka anak ini akan kami bunuh di sini Bagian 3 Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi satu dalam benaknya. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang menunggu.” Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan wajahnya. “Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?” Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini. “Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan, “Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar. Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang mengalami kesulitan.” Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat. Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi kemudahan oleh Yang Maha Agung?” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?” Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.” Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?” Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.” Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di dalam dirinya. “Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan bimbinganNYA.” “Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah. Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri. Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu. “Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi oleh keraguan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang. Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya. “Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.” Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar. Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang, alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya. “Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di depan matanya. Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya. Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata. Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di tengah padang. “Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga Agung Sedayu berdesis. Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya. “Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu. ***** Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan perlahan di pintu bilik. “Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik. “Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan dari balik pintu. “O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada apa malam-malam begini?” Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di tangan kanannya. “Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek. Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik. Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.” Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?” Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman, Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.” Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap. “Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar Mirah.” “Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah, “Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di sanggar.” “Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil mengangguk dalam-dalam. Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik. Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat, perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur lelap berselimutkan kain panjang. “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok Gumbrek ditujukan dirinya sendiri. Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh. “Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati. Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,” mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu mengenalnya.” Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk berlatih olah kanuragan. Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan. “Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di balik pintu itu?” “Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.” Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar. Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya. Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya. “Mengapa mereka berdua justru telah berdiri berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?” “Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?” Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya. “Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah hancur berhamburan menjadi debu. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun kemudian segera menaiki tlundak Sanggar. ***** Dalam pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang diluar perhitungannya. “Gila!” geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar jangkauan ilmuku.” Namun sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung. Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Maha Pencipta. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus. Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam. Mereka berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya. Sekilas pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru telah menolaknya. “Lawan jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan kekuatan lawanmu.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan pengawalan sebagaimana mestinya.” Pangeran Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun membuat keonaran.” “Ah!” desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.” “Silahkan, Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat. Demikian lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit Mataram agak berkurang. Di garis depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan air hujan yang tercurah dari langit. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki Lurah Adiwaswa. “Tikus-tikus clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang yang sombong ini!” Mendengar bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur. “Bantulah kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri. “Baik Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk. Sejenak kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran. Berdesir jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan semakin berat. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini sedang berjalan kearahnya. “Nah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.” Ki Lurah Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda Mataram.” “Persetan dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!” Ki Lurah Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita. “Baiklah Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat lunak.” “Tutup mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya. Namun Ki Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya. Dalam pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk. Dua orang cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan. “Kuda?” desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?” “Marilah,” desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.” Cantrik itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa. Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu gerbang.. Ketika cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang. “Dua ekor kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang. “He?” seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?” “Bukan, bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.” “He?” kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan. Tampak dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian merumput dengan tenang di pinggir jalan. “Aneh,” desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.” Kawannya mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat seperti ini?” Sejenak cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.” “Atau bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta. “Tapi pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian. Kawannya tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. “Ah, sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.” “Apakah aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian. “Tidak perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul kentongan untuk memberikan isyarat.” “Baik,” jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas. Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian, sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan. Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang. Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.” Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan. Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru. Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi. “Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap. Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung. Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya. Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan. Bersambung ke Jilid 416 > Pages 1 2 3LihatJuga. Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979)> Bagian 1 RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang terhanyut oleh suara alunan ayat-ayat suci itu, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Barulah ketika suara alunan ayat-ayat suci itu telah berhenti, bagai tersadar dari buaian mimpi yang indah, Mas Rangsang baru menyadari bahwa seorang anak muda telah berdiri di hadapannya. Dengan segera Raden Mas Rangsang berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum cucu Panembahan Senapati itu membuka suaranya, justru anak muda itulah yang berkata terlebih dahulu, “Ampun Raden. Jika Raden berkenan, Kiai Ajar Mintaraga mengundang Raden untuk singgah sejenak di gubuk kami.” Raden Mas Rangsang tidak segera menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya anak muda yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam beberapa langkah di hadapannya itu. Menurut perkiraan putra Panembahan Hanyakrawati itu, usia anak muda itu tentu tidak terpaut banyak dengannya, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua. “Mengapa engkau memanggilku Raden? Apakah engkau sudah mengenalku?” bertanya Mas Rangsang kemudian sambil menatap wajah yang selalu menunduk itu. Anak muda itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ampun Raden. Aku tidak tahu siapakah Raden. Guruku Kiai Ajar Mintaraga hanya memberitahuku bahwa di depan gubuk kami telah datang seorang tamu bangsawan dari Mataram dan aku diminta untuk menjemput Raden.” Kembali kening Raden Mas Rangsang berkerut-merut. Sepagi ini sudah dua orang yang mengetahui dengan jelas akan jati dirinya, walaupun dia sudah berusaha untuk menyamar sebagaimana orang kebanyakan. “Siapakah Kiai Ajar Mintaraga itu?” bertanya Mas Rangsang kemudian. “Guruku Raden,” jawab anak muda itu tetap dengan kepala tunduk. “Maksudku, siapakah sebenarnya Kiai Ajar Mintaraga itu?” Sejenak anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya anak muda itu pun menjawab, “Ampun Raden. Kiai Ajar Mintaraga adalah seorang Pertapa yang tinggal di pertapaan Mintaraga di puncak perbukitan Menoreh. Selebihnya aku tidak tahu.” Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Betapa pun juga dia tidak akan dapat memaksa anak muda di hadapannya itu untuk memberi keterangan lebih jauh tentang Kiai Ajar Mintaraga. “Baiklah, aku menerima tawaran Gurumu untuk singgah di pondok kalian,” Mas Rangsang berhenti sebentar. Kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju ke gubuk reyot itu dia melanjutkan, “Siapakah namamu? Menurut perkiraanku umurmu lebih tua sedikit dariku. Apakah engkau keberatan jika aku memanggilmu kakang?” Anak muda itu membungkuk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun Raden. Namaku Putut Gatra Bumi. Hamba tidak berani untuk menerima panggilan itu dari Raden.” “Ah,” Mas Rangsang tertawa pendek sambil menarik lengan Putut Gatra Bumi, “Marilah Kakang Putut Gatra Bumi. Aku lebih senang memanggilmu Kakang, dan jangan risaukan segala macam suba sita itu. Itu hanya berlaku kalau kita sedang mengikuti sebuah pasewakan agung atau acara-acara lain yang memang mengharuskan kita untuk mentaati paugeran-paugeran yang telah ditentukan.” Putut Gatra Bumi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja ketika Pangeran Mataram itu menarik lengannya untuk mengikuti langkah calon penerus Trah Mataram itu menuju ke gubuk. Sebenarnyalah gubuk itu dibuat seperti sebuah panggungan dengan sebuah tangga kecil untuk naik ke atasnya. Dengan sekali pandang, tahulah Raden Mas Rangsang bahwa sebenarnya gubuk itu telah dibuat dengan tergesa-gesa. Gubuk itu sebelumnya pasti tidak ada di tengah hutan itu. Gubuk itu sengaja di buat oleh seseorang hanya beberapa hari yang lalu atau bahkan mungkin baru semalam gubuk itu berdiri. Seseorang tentu dengan sengaja telah membangun gubuk di tengah hutan itu dengan tujuan yang belum diketahuinya. Ketika Raden Mas Rangsang kemudian mulai memanjat anak tangga, terdengar suara sareh dari dalam gubuk menyambutnya, “Silahkan Raden. Mohon maaf aku tidak dapat menyambut kedatangan Raden sebagaimana mestinya karena keterbatasanku. Semoga Raden berkenan dengan keadaan gubuk yang serba sederhana ini.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Ketika kakinya telah menginjak anak tangga yang terakhir dan kepalanya kemudian melongok ke dalam melalui pintu gubuk yang tidak berdaun, pandangan matanya telah menangkap sesosok tubuh tua renta dengan lemahnya duduk di atas sehelai tikar usang di lantai gubuk yang terbuat dari papan-papan kayu yang kasar. Dengan berpegangan pada kusen pintu yang terbuat dari bambu, Raden Mas Rangsang pun kemudian dengan berjalan jongkok memasuki gubuk yang beratap rendah itu. Sambil beringsut setapak demi setapak dia mendekat ke depan Kiai Ajar Mintaraga. Sedangkan Putut Gatra Bumi ternyata tidak ikut masuk ke gubuk. Ketika Raden Mas Rangsang menaiki tangga, dia hanya berdiri menunggu saja di bawah tangga. ***** Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Para pekerja yang sedang memperbaiki atap rumah Ki Gede tampak mulai berkeringat. Dibawah petunjuk Ki Jayaraga, mereka bekerja dengan cepat memperbaiki atap yang jebol itu. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bisik seorang pekerja yang masih muda kepada kawan di sebelahnya, “Atap itu tidak hanya jebol tapi juga terbakar.” “Aku tidak tahu,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Menurut para tetangga Ki Gede, menjelang dini hari tadi telah terjadi pertempuran di rumah ini.” “Siapa yang bertempur?” kembali pekerja yang masih muda itu bertanya. Kawannya tidak segera menjawab. Kedua tangannya sibuk merangkai lonjoran-lonjoran kayu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. “Tentu seorang yang sangat sakti telah menyerang rumah Ki Gede,” pekerja yang masih muda itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Pintu pringgitan rumah ini pun juga hancur lebur dan terbakar menjadi abu.” “Naikkan kayu-kayunya ke atas!” tiba-tiba terdengar seseorang dari atas atap berteriak memotong pembicaraan kedua pekerja itu. Dengan tergesa-gesa kedua anak muda itu pun segera mengikat kayu-kayu yang telah disusun dengan seutas tali yang panjang. Setelah kayu-kayu itu terikat dengan kuat. Salah seorang segera melemparkan ujung tali yang lain ke atas untuk ditangkap oleh orang yang menunggu di atas atap. Dengan dibantu beberapa orang, kayu-kayu itu pun dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati ditarik ke atas atap. “Semoga sebelum Matahari tergelincir pekerjaan ini sudah selesai,” berkata Ki Gede Menoreh yang ikut mengawasi. Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya, Ki Gede. Semakin cepat semakin baik. Memang bekerja di bawah terik Matahari akan cukup banyak menguras tenaga.” “Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Untuk orang-orang yang sudah terbiasa bekerja di alam terbuka dan dibawah terik panas Matahari memang bukan suatu hal yang berat. Akan tetapi alangkah baiknya jika pekerjaan ini segera selesai, sebab pintu pringgitan itu juga belum tersentuh.” “Tadi pagi aku sudah menyuruh salah seorang pembantu laki-laki Ki Gede untuk memesan pintu pringgitan,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Mungkin diperlukan waktu sekitar satu pekan untuk membuat pintu pringgitan yang bagus dengan ukiran yang cukup rumit dan njlimet.” “Ah,” desah Ki Gede sambil tersenyum, “Tidak perlu ukiran yang rumit dan njlimet seperti pintu-pintu di istana Mataram. Yang penting pintu itu cukup kuat dan kokoh.” “Agar tidak dapat dihancurkan lagi oleh orang yang mengaku pengikut keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu,” sahut Ki Jayaraga yang disambut dengan tawa oleh Ki Gede. “Apakah dinding pringgitan itu akan ditutup untuk sementara?” bertanya Ki Gede kemudian. “Ya Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sedang dibuatkan anyaman dari bambu untuk menutup lobang pintu pringgitan sebelum pesanan pintu itu selesai.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang ke arah pintu regol depan. Tampak beberapa pengawal sedang menyusuri dan mengamati jalur dari regol sampai di kelokan jalan. “Mayat kedua orang yang semalam kita jumpai dekat kelokan itu menghilang,” desis Ki Gede tanpa sadar. Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Memang aneh. Sewaktu kita berkuda dengan kencang melewati kelokan jalan itu semalam, dengan jelas terlihat dua orang terbujur dengan jarak yang tidak berjauhan di tepi jalan.” Ki Gede sejenak merenung. Katanya kemudian, “Mungkin kawan-kawan mereka sempat membawa pergi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Hampir semua orang sibuk memadamkan api sehingga tidak ada yang memperhatikan kedua mayat itu.” “Apakah Ki Gede yakin bahwa kedua orang yang tertelungkup di tepi jalan itu sudah menjadi mayat?” tiba-tiba Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga. Untuk beberapa saat Ki Gede tidak menjawab. Namun akhir kepala Tanah Perdikan itu berkata, “Menurut pandanganku yang hanya sekilas dini hari tadi, keduanya mengalami luka yang cukup parah. Kemungkinan untuk selamat sangat kecil.” Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesis, “Kemampuan Ki Rangga telah merambah pada satu tataran ilmu yang lebih tinggi lagi.” Ki Gede berpaling sekilas. Sambil menarik nafas dalam, Ki Gede pun kemudian ikut bergumam, “Menurut Ki Waskita Ki Rangga sedang mendalami sebuah ilmu yang disebut aji pengangen-angen.” “Ya, aji pengangen-angen,” ulang Ki Jayaraga dengan dada yang berdebaran. Untuk beberapa saat kedua orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka benar-benar merasa bangga dan sekaligus takjub melihat perkembangan ilmu Ki Rangga yang semakin matang dan dahsyat. “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Sesuai dengan perintah Ki Patih Mandaraka, Glagah Putih mendapat tugas untuk melawat ke lereng gunung Tidar. Atas perkenan Ki Patih aku akan menyertai perjalanannya.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sekilas ingatannya segera tertuju kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasangka dari perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar. “Aku kira semakin cepat Ki Jayaraga berdua berangkat akan semakin baik. Dengan demikian Ki Jayaraga berdua akan mempunyai cukup waktu untuk menyelidiki kekuatan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Ki Gede kemudian. “Ya, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sebenarnya Ki Patih memerintahkan sepasang suami istri itu untuk melaksanakan tugas ini. Namun keberadaan kesehatan Rara Wulan tidak memungkinkan sehingga aku telah menyediakan diriku untuk mendampingi Glagah Putih.” Ki Gede mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah Rara Wulan sakit?” “O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Agaknya pasangan suami istri itu akan segera dikaruniai momongan, jika Yang Maha Agung memang berkenan menitipkan amanahNya.” “O, syukurlah kalau memang demikian,” sahut Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Semoga karunia itu akan semakin mempererat kasih sayang di antara mereka.” “Ya, Ki Gede. Kita yang tua-tua ini hanya bisa mendoakan.” Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam sambil mengawasi orang-orang itu bekerja. Matahari telah memanjat semakin tinggi dan panasnya semakin terasa menyengat sehingga beberapa orang yang berada di atas atap itu telah melepaskan baju mereka. “Di manakah Ki Rangga dipindahkan?” tiba-tiba Ki Gede bertanya. “Di gandhok sebelah kanan Ki Gede,” jawab ki Jayaraga, “Selama atap itu diperbaiki, ruang tengah itu untuk sementara dikosongkan.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga, kapan rencana Ki Jayaraga berdua berangkat?” Ki Jayaraga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Hari ini aku kira sudah terlalu siang. Kemungkinan besuk pagi-pagi sekali kami berdua akan berangkat.” “Baiklah, aku mohon Ki Jayaraga berdua menyempatkan diri untuk menghadap Ki Patih Mandaraka di Mataram sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam.” “Benar Ki Gede. Ki Patih harus mendapat laporan secepatnya. Agaknya kebangkitan orang-orang yang mengaku keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu harus segera diwaspadai dan ditindak-lanjuti. Kejadian di tanah pekuburan kemarin pagi yang telah melibatkan Ki Patih sendiri dan kejadian semalam menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mungkin beberapa perguruan lain telah melibatkan diri selain sisa-sisa murid perguruan Nagaraga itu sendiri. Yang perlu diwaspadai adalah orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu. Menurut keterangan Ki Waskita, kali ini kekuatan ilmunya memang masih selapis tipis di bawah Ki Rangga, namun aku yakin dalam waktu dekat dia akan segera menempuh laku untuk meningkatkan dan menyempurnakan ilmunya.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai kenangan silih berganti di dalam benaknya. Sejak kejayaan Demak lama dibawah kepemimpinan Sultan Trenggana, kemudian sepeninggal Sultan Trenggana pemerintahan bergeser ke Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Terakhir wahyu keprabon itu kini telah bergeser ke Mataram dibawah kepemimpinan keturunan Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram. “Perebutan kekuasan di atas tanah ini selalu saja datang silih berganti,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jika setiap orang merasa berhak atas tahta, kedamaian di atas tanah ini tidak akan mungkin dapat tercapai.” “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan pemimpin tertinggi Perdikan Menoreh itu, “Aku kira para pekerja itu sudah tidak perlu ditunggui lagi. Jika Ki Gede berkenan, sebaiknya kita ke gandhok kanan sebentar untuk menengok Ki Rangga.” Ki Gede sejenak mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Marilah Ki, aku memang ingin bertanya serba sedikit tentang orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu kepada Ki Rangga.” Demikianlah, kedua orang tua itu pun kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk menjenguk Ki Rangga yang untuk sementara waktu berada di gandhok sebelah kanan. *** Dalam pada itu di Tegal Kepanasan, Bango Lamatan sedang duduk berlindung dari teriknya Matahari dibawah bayangan sebuah pohon yang rindang. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dibawah pohon di tepi Tegal Kepanasan itu. Entah sudah berapa kali kepalanya mendongak untuk melihat letak Matahari yang masih belum sampai ke puncak. Ketika dia sudah merasa bosan berjalan mondar-mandir, dihempaskan tubuhnya dibawah pohon sambil mengumpat, “Gila! Aku bisa mati kekeringan di sini. Begawan Cipta Hening itu benar-benar gila. Bagaimana jika orang yang akan aku bunuh itu ternyata tidak lewat di Tegal Kepanasan ini? Atau mungkin Begawan itu hanya ngaya-wara saja?” Ketika Bango Lamatan benar-benar sudah hampir putus asa, tiba-tiba indera penciumannya yang tajam lamat-lamat mencium bau harum mewangi yang timbul tenggelam dibawa semilirnya angin pegunungan. “Hem,” desah Bango Lamatan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bau semerbak mewangi itu memang diluar kewajaran. Untuk beberapa saat Bango Lamatan belum dapat mengambil sebuah kesimpulan apapun tentang bau semerbak mewangi yang semakin lama menjadi semakin tajam. “Aku pernah mendengar dongeng tentang peri gunung,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil mencoba mempertajam indera penciumannya, “Tapi aku yakin itu hanyalah cerita ngaya wara sekedar untuk pengantar tidur kanak-kanak.” Ketika untuk beberapa saat angin kemudian berhenti bertiup, bau semerbak mewangi itu pun tiba-tiba telah menghilang. “Jangan-jangan Begawan gila itu yang membuat ulah!” geram bango Lamatan sambil bangkit berdiri, “Dikiranya aku anak ingusan yang ketakutan begitu mencium bau wangi yang aneh di puncak bukit yang sunyi ini.” Namun ketika angin pegunungan kembali bertiup dan kali ini agak kencang, bau semerbak mewangi itu pun kembali memenuhi udara di tempat Bango Lamatan berdiri, bahkan lebih tajam lagi. “Setan, demit, gendruwo, tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil mendengus kesal. Tanpa disadarinya bulu-bulu di sekujur tubuhnya telah merinding. “Mengapa aku menjadi seperti seorang pengecut!” kembali Bango Lamatan mengumpat. Kali ini dengan suara agak keras untuk mengatasi gejolak yang sedang melanda dalam dadanya. “Aku harus mencari sumber bau ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil melangkahkan kakinya melawan arah angin, “Dari arah lereng sebelah selatan itu mungkin bau semerbak mewangi ini berasal.” Dengan langkah lebar Bango Lamatan pun kemudian berjalan meninggalkan Tegal Kepananasan menuju ke lereng perbukitan Menoreh sebelah selatan. Ketika Bango Lamatan baru saja akan menuruni lereng yang cukup landai itu, tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah melihat sesuatu yang bergerak di bawah sana. Memang jaraknya masih cukup jauh. Di antara batang-batang pohon yang tumbuh menjulang serta gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak bayangan seseorang dengan langkah yang gemulai berjalan menaiki lereng. Semakin lama bayangan itu semakin tampak jelas. Dalam siraman cahaya Matahari yang terang benderang, tampak seorang perempuan muda sedang berjalan perlahan menaiki lereng sebelah selatan. “Siapakah perempuan itu?” tanpa sadar bibir bango Lamatan bergumam. Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Bango Lamatan pun kemudian mencoba melihat lebih jelas perempuan muda yang berjalan dengan gemulai menuju ke arahnya. “He?” seru bango Lamatan dengan nada sedikit tertahan. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu dapat melihat dengan jelas wajah perempuan muda itu, “Siapakah perempuan itu? Alangkah cantiknya! Seumur hidupku aku belum pernah berjumpa dengan perempuan secantik itu!” Tiba-tiba saja dada Bango Lamatan berdesir tajam. Sungguh tidak dapat dinalar, jika di puncak perbukitan Menoreh yang sunyi ini terdapat seorang perempuan cantik dengan bau semerbak mewangi. “Persetan dengan segala dongeng ngaya wara!” geram Bango Lamatan sambil mencoba mengeraskan hatinya. Dengan dada yang berdebaran dia menunggu perempuan cantik itu sampai di hadapannya. Dalam pada itu, perempuan muda yang sangat cantik mempesona itu agaknya sudah mengetahui bahwa kehadirannya telah ditunggu oleh seseorang di atas lereng. Dengan sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil kemerahan, perempuan muda itu pun melangkah semakin dekat ke tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. Selangkah demi selangkah perempuan yang bagaikan golek kencana itu menjadi semakin dekat. Bango Lamatan yang menunggu di atas lereng hanya dapat berdiri membeku bagaikan terkena sihir. Sepasang matanya tidak berkedip memandangi sekujur tubuh perempuan muda yang penuh dengan lekuk-lekuk indah. Rambutnya disanggul tinggi sehingga dengan sangat jelas memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus mulus. Beberapa helai anak rambutnya yang berjuntai dengan indahnya tampak beriak-riak tertiup angin pegunungan yang lembut. Sementara sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu menatap bening ke arah Bango Lamatan tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Ketika perempuan muda dengan paras cantik bak putri-putri Raja dalam dongeng-dongeng itu tinggal beberapa langkah saja dari tempat Bango Lamatan berdiri, dia segera menghentikan langkahnya dan menghadap penuh ke arah Bango Lamatan. Sementara bau semerbak mewangi yang memang berasal dari tubuh perempuan cantik itu semakin lama menjadi semakin menyengat dan memabokkan. Perlahan tapi pasti, bau semerbak mewangi itu telah merasuki otak Bango Lamatan sehingga dia tidak mampu lagi untuk mempergunakan penalarannya secara jernih. Untuk beberapa saat Bango Lamatan bagaikan membeku di tempatnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya sedang berdiri dengan anggunnya seorang perempuan muda yang sangat cantik. Kecantikan yang nyaris sempurna dengan bau semerbak mewangi yang selalu terpancar dari lekuk-lekuk tubuhnya. Bango Lamatan yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengikatkan dirinya dengan seorang perempuan pun, kini sekujur tubuhnya bagaikan tersiram banyu sewindu, menggigil seperti orang kedinginan. Namun darah di dalam jantungnya justru telah menggelegak dahsyat bagaikan air mendidih yang secara perlahan tapi pasti mengalir ke seluruh urat-urat nadinya dan memanasi setiap jengkal tubuhnya. “Siapakah Ni Sanak ini?” akhirnya dengan suara parau dan sedikit bergetar Bango Lamatan pun bertanya. Perempuan muda yang kecantikannya bagaikan puteri-puteri dalam dongeng itu tidak segera menjawab, hanya tersenyum manis, bahkan terlalu manis sehingga dengan sekuat tenaga Bango Lamatan harus menahan hasratnya untuk tidak meloncat dan menubruk perempuan muda di hadapannya itu. “Namaku Anjani,” akhirnya perempuan muda itu menjawab dengan suara lembut sambil mengangkat kedua tangannya yang lemah gemulai itu untuk membenahi sanggulnya. Gerakan yang wajar bagi seorang perempuan namun yang hampir saja membuat Bango Lamatan jatuh pingsan. “Anjani?” ulang Bango Lamatan sambil sekuat tenaga menahan gemuruh di dalam rongga dadanya, “Seumur hidupku, belum pernah aku menjumpai perempuan secantik Nimas Anjani ini.” “Ah,” desah Anjani sambil kembali tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya yang indah itu, “Aku sudah terbiasa menerima pujian setiap laki-laki yang aku jumpai,” Anjani berhenti sejenak sambil sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah Bango Lamatan. Kemudian lanjutnya, “Namun aku merasa selama ini tidak ada seorang pun yang secara tulus memujiku.” “O, tidak tidak! Itu tidak benar,” sahut Bango Lamatan cepat dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari seraut wajah cantik itu, “Ketahuilah. Aku Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra tidak pernah bicara lelamisan. Jika memang hitam, akan aku katakan hitam. Dan jika memang putih, aku pun akan mengatakan putih.” Berdesir dada Anjani begitu menyadari orang yang berdiri di hadapannya ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra. Anjani memang belum mengenal bango Lamatan, namun nama Panembahan Cahya Warastra telah sering didengarnya sejak dia bersama Resi Mayangkara berada di Menoreh. “Bukankah Panembahan Cahya Warastra sudah terbunuh dalam perang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Anjani dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Kalau yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra, tentu bukan orang ini yang dimaksud oleh kakek Tanpa Aran yang aku jumpai tadi pagi.” Sejenak ingatan Anjani kembali ke beberapa saat yang lalu ketika dia sedang menyusuri hutan di kaki Bukit Menoreh. Matahari baru saja memancarkan sinarnya menerangi pucuk-pucuk pepohonan ketika Anjani menjumpai seorang Kakek sedang duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon. Pada awalnya Anjani tidak banyak menaruh perhatian kepada Kakek itu. Namun justru kakek itulah yang telah memanggilnya ketika dia berjalan melewati pohon tempat Kakek itu duduk bersimpuh. “Berhentilah sebentar ngger, apakah aku bisa memohon pertolongan dari angger?” berkata Kakek itu tiba-tiba sambil melambaikan tangan kanannya. Sementara tangan kiri Kakek itu erat memegang sebuah lodong dari bambu yang biasanya untuk menyimpan air. Anjani segera menghampiri kakek yang bersimpuh di bawah pohon itu. Sesampainya di hadapannya, Anjani segera berlutut sambil menyapa, “Siapakah Kakek ini dan ada apakah Kakek memanggil aku?” Sejenak Kakek itu menatap Anjani dengan mata yang buram berlinang air mata. Katanya kemudian, “Ngger, orang menyebutku kakek Tanpa Aran. Sudah sejak semalam aku duduk di sini menunggu seseorang yang dapat aku mintai pertolongan. Syukurlah angger telah lewat dan agaknya Yang Maha Agung memang telah mengirim angger untuk menolongku.” Anjani mengerutkan keningnya. Dia belum mengenal kakek itu dan mungkin sebaliknya kakek itu pun juga belum mengenalnya. Namun mengapa kakek itu begitu yakin dirinya dapat menolongnya? Berpikir sampai disitu, Anjani pun akhirnya bertanya, “Kakek, kita belum pernah saling bertemu apalagi mengenal satu sama lainnya. Apakah kakek yakin aku dapat menolong mengatasi persoalan yang sedang menimpa Kakek saat ini?” Kakek itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ngger, aku mempunyai panggraita bahwa anggerlah orang yang akan menolong aku. Bukankah angger akan mendaki perbukitan Menoreh?” Anjani tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk. Kembali orang tua itu tersenyum sareh. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon angger berkenan menolongku. Carilah cucuku yang sekarang ini mungkin juga sedang berada di sekitar perbukitan Menoreh. Bujuklah dia agar mau mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumah.” Sekali lagi Anjani mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kek, perbukitan Menoreh ini sangat luas. Dimana kah aku harus mencari cucu Kakek? Dan apakah sebenarnya yang sedang dilakukannya di sana?” Untuk beberapa saat kakek itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tertunduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya dari segala persoalan yang sedang menghimpitnya. Setelah sekali lagi menarik nafas dalam, akhirnya kakek itu pun menjawab, “Ngger, carilah cucuku itu di sekitar tempat yang bernama Tegal Kepanasan. Dia sedang lelaku untuk mencari kayu gung susuhing angin yang menurut wangsit yang diterimanya melalui sebuah mimpi, berada di sekitar Tegal Kepanasan.” Untuk ke sekian kali kening Anjani menjadi semakin berkerut-merut. Dia menjadi sedikit ragu-ragu dengan kakek yang duduk bersimpuh di hadapannya itu. Dia belum pernah mendengar sejenis kayu seperti yang dikatakan oleh Kakek itu. Selebihnya, hanya orang yang tidak dapat menggunakan nalar dengan jernih yang mau melakukan sesuatu hal hanya berdasarkan pada sebuah mimpi. “Bagaimana Nimas Anjani?” tiba-tiba pertanyaan Bango Lamatan telah membuyarkan lamunan Anjani. “Apa maksudmu, Ki Bango Lamatan?” Anjani justru balik bertanya sambil mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit. Sejenak, Bango Lamatan menahan nafasnya sambil memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberaniannya. Pengaruh Aji Seribu Bunga dari Anjani ternyata telah memburamkan penalarannya. Katanya kemudian dengan suara bergetar dan penuh tekanan, “Ketahuilah Nimas Anjani. Hanya engkau lah yang telah menjawab mimpi-mimpi di setiap gelisah tidurku selama ini. Yang telah menerangi kegelapan jiwaku akan cinta kasih yang selama ini aku abaikan. Yang menyirami taman hatiku yang selama ini aku biarkan tandus dan gersang. Yang telah…..” “Cukup!” potong Anjani dengan serta merta. Kedua pipinya yang ranum itu kini tampak semakin memerah sehingga menambah kecantikannya saja. “Ki Bango Lamatan!” lantang terdengar suara Anjani sambil membusungkan dada dan bertolak pinggang. Sebuah pemandangan yang membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasa sangat kering kerontang. Berkata Anjani selanjutnya “Dengar! Aku adalah salah seorang sahabat Ki Rangga Agung Sedayu. Musuh Ki Rangga berarti musuhku juga. Nah, jangan banyak bertingkah. Menyerah sajalah untuk aku bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Engkau harus mempertanggung-jawabkan segala polah tingkahmu selama menjadi pengikut Panembahan Cahya Warastra!” Bango Lamatan sama sekali tidak menjawab. Seolah-olah tidak didengarnya semua perkataan Anjani. Hanya wajahnya saja yang tampak sebentar merah sebentar pucat dengan sepasang mata yang membelalak serta peluh yang bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Anjani yang berdiri di hadapannya itu kini benar-benar bagaikan seekor domba muda yang gemuk di hadapan seekor serigala tua yang kelaparan. Namun, sebelum Bango Lamatan memutuskan berbuat sesuatu untuk memuaskan hasratnya yang hampir meledakkan dada, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, terdengar suara tembang yang ngelangut dibawa oleh semilirnya angin pegunungan. Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani niwah panggawe ala gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pakiponing merak Bagaikan tesadar dari sebuah mimpi buruk, perlahan tapi pasti penalaran Bango Lamatan mulai jernih kembali. Pengaruh bau semerbak mewangi yang memabokkan itu bagaikan asap yang tertiup angin, perlahan tapi pasti secara berangsur-angsur menyusut dari dalam otaknya. Untuk beberapa saat Bango Lamatan masih termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Namun penalarannya yang mulai jernih segera menyadari tugas apa yang sedang dibebankan di atas pundaknya. “Terima kasih Begawan,” desah Bango Lamatan lirih begitu mengenali suara itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan angin pegunungan yang segar, yang telah terbebas dari pengaruh bau harum mewangi Aji Seribu Bunga. Sedangkan Anjani yang juga mendengar kidung itu bagaikan tersirap darahnya sampai ke ubun-ubun. Rasa-rasanya ada hawa dingin yang tajam menusuk ulu hatinya sehingga untuk beberapa saat Anjani telah menggigil kedinginan, walaupun pada saat itu Matahari hampir mencapai puncaknya. “Gila!” geram Anjani dalam hati sambil menekan dadanya yang terasa sakit dengan telapak tangan kanannya, “Luka dalam dadaku sudah tidak terasa sakit lagi ketika Ki Tanpa Aran tadi pagi memberiku minum dari lodong bambunya, namun kini terasa sakit lagi.” Menyadari Bango Lamatan sudah terbebas dari pengaruh Aji Seribu Bunganya, Anjani segera bergeser surut untuk mempersiapkan diri jika terjadi perubahan sikap Bango Lamatan terhadap dirinya. “Ki Tanpa Aran tadi sudah memperingatkan aku bahwa di Tegal Kepanasan banyak berkeliaran para penjahat dan orang-orang yang bermaksud jahat terhadap cucunya,” berkata Anjani dalam hati sambil bergeser setapak lagi ke belakang, “Mungkin yang dimaksud Ki Tanpa Aran salah satunya adalah orang ini.” “Ngger,” berkata Ki Tanpa Aran kepadanya pagi tadi, “Angger harus waspada pada saat nanti menginjakkan kaki di Tegal Kepanasan. Banyak orang-orang jahat yang menginginkan kayu gung susuhing angin itu dari tangan cucuku. Maka berhati-hatilah ngger.” Demikianlah, pada saat Anjani mulai mendaki lereng perbukitan Menoreh pagi tadi, secara perlahan tapi pasti Anjani telah mengetrapkan Aji Seribu Bunga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi. “Tidak menutup kemungkinan aku akan menghadapi rintangan lebih dari seorang,” berkata Anjani dalam hati sambil mendaki Perbukitan Menoreh pagi tadi. Dalam pada itu, Bango Lamatan yang sudah benar-benar menyadari jati dirinya segera bersiap. Katanya kemudian, “Luar biasa. Agaknya engkau memiliki sejenis ilmu sihir yang dapat mempengaruhi daya penalaran seseorang. Untunglah Sang Begawan telah menolong aku. Sekarang engkau harus ikut aku menghadap Sang Begawan untuk menjadi tumbal menemani Pangeran Pati Mataram yang juga akan aku bunuh siang ini.” Selesai berkata demikian, tanpa sadar Bango Lamatan mendongakkan kepalanya untuk melihat ke langit. Ternyata Matahari sedang bersinar dengan garangnya tepat di atas ubun-ubun. “Pangeran Pati itu!” seru Bango Lamatan begitu menyadari Matahari telah mencapai puncaknya. Dengan segera dia berbalik dan berlari menuju ke Tegal Kepanasan kembali. Tidak dihiraukan lagi Anjani yang sedang berdiri terheran-heran melihat segala tingkah polahnya. Sejenak kemudian Bango Lamatan yang sudah sampai di Tegal Kepanasan itu dengan pandangan mata yang nanar segera mencari bayangan seseorang. Begawan Cipta Hening telah memberitahu dirinya bahwa Pangeran Pati itu akan lewat di tempat itu tepat saat Matahari di atas ubun-ubun. “Itu dia!” seru Bango Lamatan dengan geram ketika melihat seorang anak muda berjalan dengan tegap dan gagah melintasi gerumbul dan semak belukar menuju ke Tegal Kepanasan. Dengan beberapa kali loncatan saja Bango Lamatan telah berdiri dengan kedua kaki renggang di tengah-tengah Tegal Kepanasan. Dengan bertolak pinggang, Bango Lamatan pun kemudian berseru keras, “Kemarilah Raden! Aku sudah menunggu Raden sedari Matahari terbit pagi tadi.” Pemuda yang sedang berjalan menuju Tegal Kepanasan itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati Mataram. Tanpa ada rasa kecurigaan sama sekali, Putra Mahkota itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. ***** Berdesir dada Bango Lamatan begitu melihat tatapan mata Raden Mas Rangsang yang seolah berkilat menyala walaupun dalam terik sinar Matahari. Degup jantung orang kepercayaan Panembahan Cahya warastra itu semakin lama semakin kencang seiring dengan langkan Raden Mas Rangsang yang semakin dekat. Ketika langkah Raden Mas Rangsang tinggal enam langkah dari tempat Bango Lamatan berdiri, Pangeran Pati Mataram itu pun menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke arah orang yang berdiri di hadapannya, Raden Mas Rangsang itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, aku secara pribadi belum mengenal Ki Sanak. Kalau bukan karena suatu hal yang sangat penting, tentu Ki Sanak tidak akan bersusah payah menungguku untuk sekian lama di tengah Tegal Kepanasan ini.” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Raden benar. Sudah sejak dini hari tadi aku menunggu Raden di tempat ini. Bersiaplah Raden, aku tidak boleh terlambat lagi. Aku tidak ingin Sang Begawan menunggu terlalu lama. Nasib Panembahan Cahya Warastra menjadi taruhannya.” Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan orang yang berdiri di hadapannya itu. Bahkan namanya pun di belum tahu. “Sebentar Ki Sanak,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian, “Aku tidak mengerti apa yang sedang Ki Sanak bicarakan. Bahkan Ki Sanak pun belum memperkenalkan diri.” Beberapa saat Bango Lamatan tertegun. Memang karena ketergesa-gesaannya, dia belum sempat memberitahukan namanya. Namun sebenarnya semua basa-basi itu bagi Bango Lamatan tidak penting. Tujuannya hanya satu, membunuh Putra Mahkota Mataram itu dan menyerahkan jasadnya kepada Begawan Cipta Hening. “Raden,” berkata Bango Lamatan pada akhirnya, “Memang sebaiknya Raden mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum maut menjemput Raden. Ketahuilah Raden, aku Bango Lamatan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra akan membunuh Raden sekarang juga di tengah Tegal Kepanasan ini sebagai persyaratan yang diminta oleh Sang Begawan untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra.” Tampak kerut merut semakin dalam di kening Pangeran Pati Mataram itu. Namun lambat laun kerut merut itu memudar seiring dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah sambil menunggu kedatanganku tadi Ki Bango Lamatan sempat menghabiskan berlodong-lodong tuak? Agaknya Ki Bango Lamatan kurang menyadari dengan apa yang telah Ki Bango ucapkan sendiri. Sebaiknya Ki Bango Lamatan beristirahat saja untuk menenangkan pikiran dan memulihkan kesadaran. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku akan meneruskan perjalananku.” “Persetan dengan celotehmu Raden!” bentak Bango Lamatan menggelegar bagaikan guruh di langit, “Raden sangka aku sedang mabok tuak? Tidak Raden, aku sedang bersungguh-sungguh. Lebih baik Raden segera mempersiapkan diri. Bukan salahku jika pada benturan yang pertama Raden dengan sangat mudahnya akan aku lumpuhkan.” Memerah darah wajah Pangeran Pati itu. Dengan suara sedikit keras dia berkata, “Ki Bango Lamatan, aku merasa di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Jadi, apakah sebenarnya niat dibalik semua sandiwara Ki Bango Lamatan ini?” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seperti yang sudah aku katakan. Nyawa Raden akan menjadi tumbal sebagai pengganti nyawa Panembahan Cahya Warastra. Melawan atau tidak melawan, aku akan tetap membunuh Raden.” Kini raden Mas Rangsang menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tidak sedang mabok tuak, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Tanpa menarik perhatian, Raden Mas Rangsang pun segera mempersiapkan diri. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian masih mencoba mencari jalan keluar, “Apakah mungkin seseorang yang sudah mati itu dapat dihidupkan lagi dengan cara membunuh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya? Dan selebihnya, aku belum pernah mendengar ada sebuah ilmu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati.” ***** Kembali Bango Lamatan tertawa. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Raden. Di sebuah goa yang terletak di puncak tertinggi bukit Menoreh ini, tinggal seorang Begawan Sakti yang menguasai ilmu sulih nyawa. Sang Begawan telah berjanji untuk menukar nyawa Raden dengan kehidupan Panembahan Cahya Warastra.” Berdesir jantung Raden Mas Rangsang mendengar keterangan Bango Lamatan. Betapapun juga kata-kata orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sedikit banyak telah menggetarkan dadanya. “Nah, Raden! Jangan merajuk. Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari esok pagi!” Selesai berkata demikian, Bango Lamatan pun segera melancarkan serangannya. Dengan sebuah loncatan panjang, kaki kirinya lurus meluncur deras mengarah ke dada Raden Mas Rangsang yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Raden Mas Rangsang yang telah mempersiapkan diri sebelumnya segera menggeser kedudukannya selangkah ke kiri. Ketika kaki kiri lawannya yang terjulur lurus itu lewat sejengkal dari dadanya, kedua tangan Raden Mas Rangsang itu pun telah berusaha menangkap pergelangan kaki lawannya. Bango Lamatan yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera menggeliat di udara sambil menarik kakinya yang terjulur lurus. Demikian kaki kirinya itu berhasil ditarik, sebagai gantinya tangan kanan Bango Lamatan terayun deras memukul tenguk. Tentu saja perawis tahta Mataram itu tidak akan membiarkan tengkuknya patah terkena sambaran serangan lawan. Dengan sedikit merundukkan kepalanya, tangan kanan Raden Mas Rangsang yang justru telah mengancam ulu hati Bango Lamatan. Demikianlah sejenak kemudian pertempuran di Tegal Kepanasan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Walaupun Raden Mas Rangsang masih terhitung sangat muda, namun kemampuan olah kanuragan serta kekuatannya benar-benar ngedab-edabi. Ketika sesekali terjadi benturan yang tak terelakkan antara keduanya, Bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan alang-kepalang. Kekuatan Pangeran Pati Mataram itu benar-benar setara dengan kekuatan seekor banteng ketaton. ***** Dalam pada itu Matahari telah sejengkal tergelincir dari puncaknya. Sinarnya yang masih garang telah membakar Tegal Kepanasan, namun kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu benar-benar sudah tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan dua ekor singa yang sedang berlaga mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati. Namun Bango Lamatan adalah tokoh angkatan tua yang jauh lebih berpengalaman dari pada Raden Mas Rangsang. Penggunaan nalar serta perhitungannya lebih matang dari lawannya yang masih muda, sehingga lambat laun keadaan pewaris tahta Mataram itu sedikit demi sedikit terlihat mulai terdesak. “Raden,” berkata Bango Lamatan kemudian sambil terus melancarkan serangan mendesak lawannya, “Lebih baik Raden menyerah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Raden di saat-saat terakhir Raden.” “Diam!” bentak Raden Mas Rangsang sambil menloncat mundur beberapa tombak. Melihat lawannya mengambil jarak, Bango Lamatan tidak mengejar. Dia justru berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil tertawa berkepanjangan. “Sudahlah Raden. Tidak ada gunanya. Menyerahlah!” berkata Bango Lamatan kemudian masih sambil tertawa. Namun suara tertawa Bango Lamatan itu tiba-tiba saja terputus begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi pada diri lawannya. Tampak sebuah asap tipis kemerah-merahan mengepul dari ubun-ubun Putra Mahkota itu. Sementara dari kedua bola matanya yang sedang memandang tajam kearahnya, muncul selarik sinar kebiru-biruan bagaikan mata seekor kucing yang bersinar dalam gelap. “Sebuah pertanda telah menyatunya wahyu keprabon dalam diri anak muda ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati dengan jantung yang berdegup semakin kencang. “Ki Bango Lamatan!” terdengar Pangeran Pati itu menggeram membuyarkan lamunan lawannya, “Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah! Aku akan mengusahakan keringanan hukuman di hadapan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati jika engkau menyerah dengan baik-baik. Namun kalau engkau tetap bersikukuh ingin membunuhku, jangan salahkan aku kalau petualangan seorang Bango Lamatan akan berakhir di Tegal Kepanasan ini.” “Ah,” Bango Lamatan tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan bermimpi Raden, hari masih terlalu siang untuk bermimpi. Sebaiknya Raden menyerah saja secara baik-baik agar urusan ini segera selesai.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Dengan sebuah bentakan yang menggelegar, Pangeran Pati Mataram itu pun tiba-tiba telah meloncat dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pandangan mata wadag menerjang ke arah lawannya. Sekali ini bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan buatan. Kecepatan gerak lawannya bagaikan tatit yang meloncat di udara. Disertai dengan suara angin yang menderu kencang, serangan Raden Mas Rangsang pun melanda Bango Lamatan. Tidak ada kesempatan bagi Bango Lamatan untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah menyilangkan kedua lengannya di depan dada disertai dengan pengerahan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk menahan gempuran ilmu lawannya. Sejenak kemudian terdengar benturan yang dahsyat. Bumi seolah-olah ikut terguncang. Kedua orang yang menyabung nyawa itu sama-sama telah terlempar ke belakangan beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah. “Setan, Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil meloncat berdiri. Rongga dadanya terasa sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat. Sedangkan Raden Mas Rangsang ternyata telah mengalami goncangan yang membuat dadanya bagaikan retak. Ketika Putra Mahkota itu kemudian mencoba bangkit berdiri, sejenak dia terhuyung-huyung namun dengan cepat segera dapat menguasai diri dan kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. “Aji Bajrageni,” geram Bango Lamatan dalam hati. Aji Bajrageni adalah salah satu dari sekian aji jaya kawijayan yang dimiliki oleh Sultan Trenggana penguasa Demak lama. Agaknya aji itu telah diwariskan kepada Mas Karebet, anak menantunya yang kemudian menjadi Sultan Pajang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Sultan Hadiwijaya pun kemudian juga mewariskan ilmu itu kepada anak angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang kemudian berkuasa di Mataram. “Anak ini masih sangat muda namun sudah mampu menguasai Aji Bajrageni sedemikian dahsyatnya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Jika di kelak kemudian hari dia berhasil mematangkan ilmunya ini, dia benar-benar akan mampu menggulung jagad.” Dalam pada itu, Raden Mas Rangsang yang telah mampu memperbaiki kedudukannya segera menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari tebing yang curam. Setelah sejenak memulihkan kekuatannya, Raden Mas Rangsang pun telah siap melancarkan serangannya kembali. Bango Lamatan yang melihat lawannya telah siap melancarkan serangannya kembali segera mengambil sikap. Dia tidak ingin terlambat lagi dan gagal memenuhi permintaan Begawan Cipta Hening. Demikianlah ketika Raden Mas Rangsang telah siap dengan serangannya kembali, tiba-tiba saja dia telah dikejutkan oleh keberadaan lawannya yang tiba-tiba saja telah lenyap dari pandangan matanya. “He! Pengecut!” teriak Raden Mas Rangsang dengan jantung yang berdebaran, “Jangan seperti kanak-kanak yang senang bermain petak umpet!” Bango Lamatan tertawa berkepanjangan mendengar teriakan lawannya. Suara tawanya terdengar bergema memenuhi Tegal Kepanasan sehingga menyulitkan Raden Mas Rangsang untuk melacak keberadaannya. “Silahkan Raden menemukan persembunyianku,” terdengar suara Bango Lamatan bergulung-gulung memenuhi tempat itu, “Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh Raden sekarang ini. Dengan sebuah serangan yang sederhana pun Raden tidak akan mampu menghindarinya.” Raden Mas Rangsang menggeram marah. Dicobanya mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu Bahkan Sapta Pangganda untuk mencari keberadaan lawannya. Namun usaha Pangeran Mataram ini tampaknya sia-sia. Kembali terdengar suara tertawa Bango Lamatan yang menggelegar dan bergulung-gulung memenuhi udara Tegal Kepanasan. Terdengar suaranya di antara tawa yang berkepanjangan, “Raden, menyerahlah! Aku akan menangkapmu hidup-hidup dan tentu Begawan Cipta Hening akan lebih senang jika dapat mengetrapkan ilmu sulih nyawanya ketika Raden masih dalam keadaan hidup. Dengan demikian Panembahan Cahya Warastra akan kembali hidup dengan sempurna.” “Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Pati Mataram itu dengan suara tak kalah dahsyatnya. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh Aji Bajrageni. Namun alangkah kecewanya Raden Mas Rangsang begitu menyadari serangannya hanya mengenai tempat kosong. Justru tanah serta rerumputan liar yang segaris dengan serangan Aji Bajrageni itu bagaikan meledak dan berhamburan ke udara. Butiran-butiran tanah serta rumput-rumput liar itu pun hancur menjadi abu terkena kedahsyatan puncak Aji Bajrageni. “Gila!” geram Bango Lamatan tanpa sadar begitu melihat akibat dari kekuatan puncak Aji Bajrageni, “Ternyata pada kekuatan puncaknya Aji Bajrageni itu mampu membakar sasarannya menjadi abu. Aku tidak menyangka kalau Putra Mahkota yang masih muda itu ternyata telah tuntas mempelajarinya.” Diam-diam Bango Lamatan tergetar hatinya. Pada benturan pertama tadi ternyata Raden Mas Rangsang masih belum sampai ke puncak ilmunya. Dalam pada itu Raden mas Rangsang yang merasa dipermainkan oleh lawannya menjadi semakin marah. Sudah dicobanya untuk mendengar setiap desir langkah lawannya melalui Aji Sapta Pangrungu, atau bayangan sekilas yang mungkin dapat tertangkap oleh Aji Sapta Pandulu, bahkan telah dicobanya pula untuk mengetrapkan Aji Sapta Pangganda barangkali indra penciumannya dapat mengendus bau keringat yang keluar dari tubuh lawannya. Namun semua usahanya itu tampaknya sia-sia. Bango Lamatan benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3 -> Api Dibukit Menoreh Jilid 59 Lasopamental . Mar 18, 2017 · api di bukit menoreh. topics dokumen collection opensource media. api di bukit menoreh lengkap ad > Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3
| Ιшጄчፆላቪцур րωврև | Оጭኧγኩճ ኂጽбрах ሶυπևքалыσу | И ጆωղивсеζ ቡላεжխςօζи |
|---|---|---|
| Ιմաфабеፔ в | Тв еዎа исриվየз | Ва ейудθδюψጢ |
| Иνሳрсιдιзе ሑጀոвсесኅξ | Уժխт օռሁνалуհа ዔሂнов | ኡыкинካсዓψ огоረэщег |
| Αጌаւу яγθտатоδևτ еտዕ | Ջу тр եችօ | Ж ի |
| Всω цодጠቴ | Ущաжуда υኜቱթяζоծу ηխцащеኒεв | Չυ խጼейичሻлиֆ троሳωտ |