KajianIslam Tentang Talbil Iblis Untuk Menyebarkan Hadits Palsu. Di antara talbis iblis terhadap orang-orang yang berbicara tentang hadits adalah meriwayatkan hadits-hadits maudhu' (palsu). Bahkan dahulu para pemalsu hadits -terutama tentang fadhilah surah Al-Qur'an- beralasan bahwa mereka melakukan itu untuk membela Nabi Shallallahu Yang dimaksudkan dengan hadits maudhu’ adalah hadits yang dikarang-karang oleh orang yang berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mengenai orang-orang semacam itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan dia ambil tempat duduknya di neraka.”[1] Yang dimaksud dengan hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, semisal karena terputusnya sanad. Bagaimana hukum menggunakan hadits maudhu’ dan dho’if? Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Hadits maudhu’ –berdasarkan kesepakatan para ulama- tidak boleh disebut-sebut dan disebarluaskan di tengah-tengah manusia. Hadits maudhu’ tidak boleh digunakan baik dalam masalah at targhib untuk memotivasi atau at tarhib untuk menakut-nakuti dan tidak boleh digunakan untuk hal-hal lainnya. Hadits maudhu’ boleh disebutkan jika memang ingin dijelaskan status haditsnya yang maudhu’.” Adapun mengenai hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga syarat dalam masalah ini, [Syarat pertama] Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if tidak terlalu lemah. [Syarat kedua] Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya pahala dan hukuman. [Syarat ketiga] Tidak boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim yaitu tidak tegas. Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.” Yang dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim adalah tidak boleh menggunakan kata “qola Rasulullah” رَسُوْل اللهِ قَالَ, yaitu Rasulullah bersabda. Namun kalau hadits dho’if tersebut ingin disebarluaskan maka harus menggunakan lafazh “ruwiya an rosulillah” ada yang meriwayatkan dari Rasulullah atau lafazh “dzukiro anhu” ada yang menyebutkan dari Rasulullah, atau ”qiila”, atau semacam itu. Jadi intinya, tidaklah boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” Rasulullah bersabda tatkala menyebutkan hadits dho’if. Jika di masyarakat tidak bisa membedakan antara perkataan dzukira ذُكِرَ, qiila قِيْلَ, ruwiya رُوِيَ dan qoola قَالَ, maka hadits dho’if tidak boleh disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan masyarakat akan menyangka bahwa itu adalah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Faedah penting lainnya Dari sini menunjukkan bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yang mendukungnya. Karena di sini hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih yang mendukung hal ini. Perhatikanlah! Misalnya ada hadits dho’if mengenai amalan pada malam nishfu sya’ban. Kalau landasannya dari hadits dho’if tanpa pendukung dari hadits shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal. Faedah Ilmu dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 401-402, cetakan pertama, 1424 H. Panggang, Gunung Kidul, 22 Syawwal 1430 H Muhammad Abduh Tuasikal Artikel [1] HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3 Hadisini palsu, dusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (al-Maudhu'at, 3/191) Demikian pula keterangan Ibnul Qoyim. Beliau menyebutkan beberapa hadis palsu, dalam kitabnya al-Manar al-Munif, beliau menyatakan sub-Bab, termasuk hadis palsu adalah hadis tentang kejadian masa depan,
Penjelasan Tentang Apa Itu Hadits Musnad dan Muttashil? Matan Baiquniyyah Matan al-Baiquniyyah وَالْمُسْنَدُ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ ... رَاوِيهِ حَتَّى المُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ Dan musnad adalah yang sanadnya bersambung...para perawinya sampai kepada al-Musthofa Nabi dan tidak terputus وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ ... إسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ Dan setiap hadits yang setiap perawi mendengarkan dari perawi sebelumnya secara bersambung...sanadnya kepada al-Musthofa Nabi, maka itu disebut muttashil Mandzhumah al-Baiquniyyah Penjelasan Musnad yang dimaksud dalam definisi al-Imam al-Baiquniy ini adalah riwayat marfu’ yang bersambung sanadnya. Bersambungnya sanad disebut dengan istilah muttashil. Muttashil adalah riwayat bersambung, sedangkan musnad adalah bersanad sampai Nabi. Muttashil berlaku pada hadits marfu’ maupun yang tidak marfu’. Syarat hadits disebut muttashil adalah jika semua perawi benar-benar mendengar dari perawi di atasnya secara langsung. Musnad adalah marfu’ yang muttashil. Setiap musnad adalah muttashil, namun tidak setiap muttashil adalah musnad. Musnad tidak selalu shahih, karena ia hanya memenuhi syarat hadits shahih dalam hal bersambung sanadnya. Bisa jadi meski sanadnya bersambung, perawinya lemah atau majhul tidak dikenal, atau merupakan riwayat yang syadz, atau mengandung illat qodihah. Akibatnya, meski bersambung sanadnya, riwayat itu tidak Ulama menyusun beberapa kitab musnad dengan pengelompokan berdasarkan kriteria tertentu Pertama Kitab musnad yang dikelompokkan berdasarkan nama Sahabat Nabi. Beberapa kitab yang disusun demikian adalah Musnad Ahmad, musnad Abi Hanifah, musnad Abi Ya’la, musnad Abi Bakr al-Marwaziy, musnad al-Humaidiy, musnad atThoyaalisiy, Musnad Aisyah Ibnu Abi Dawud, musnad Abd bin Humaid, musnad Umar bin al-Khoththob Ibnu an-Najjaad. Kedua Kitab musnad yang dikelompokkan berdasarkan pengelompokan bab fiqh maupun akidah. Kitab-kitab yang seperti ini adalah musnad asy-Syafii, musnad arRobi’ bin Habiib, musnad Abdullah bin al-Mubaarak, musnad al-Harits, musnad asy-Syihaab. Musnad Ahmad Salah satu kitab musnad yang terkenal adalah kitab musnad yang disusun oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hadits-hadits dalam kitab itu disusun dan dikelompokkan berdasarkan nama Sahabat Nabi yang meriwayatkan. Ada sekitar 700-an Sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits dalam musnad tersebut. Total jumlah hadits dalam musnad Ahmad adalah sekitar 40 ribu hadits dengan pengulangan. Sedangkan jika tanpa pengulangan, jumlahnya sekitar 30 ribu hadits. Sebagian Ulama berpendapat bahwa musnad Ahmad hanya berisi hadits shahih, hasan, dan dhaif yang mendekati hasan. Tidak ada yang maudhu’. Ulama yang berpendapat demikian, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabiy, al-Hafidz Ibnu Hajar, dan as-Suyuthiy. Sebagian Ulama berpendapat bahwa dalam musnad Ahmad ada yang maudhu’. Ibnul Jauzi menilai ada 29 hadits maudhu’, ditambah 9 hadits oleh al-Iraqiy. Pendapat yang benar adalah secara asal, hadits dalam Musnad Ahmad tidak ada yang maudhu’. Adapun tambahan dari putra Ahmad Abdullah dan juga Abu Bakr al-Quthoy’iy bisa jadi ada yang maudhu’. Demikian ringkasan penjelasan Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah. Wallaahu A'lam dikutip dari naskah buku "Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman WA al I'tishom
Nah begini cara mengidentifikasinya. Hadis secara terminologi adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir dari Nabi Muhammas SAW, yang menjadi patokan sebagai hukum agama Islam setelah Alquran. Demikian para ahli ushul fiqih dalam mendefinisikan Hadis. Namun, banyak sekali orang atau pihak-pihak yang menyebarkan hadis yang lemah sanad-nya
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslimin. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salaafussholih yang memang benar-benar memiliki kemampuan khusus dalam ilmu agama, sehingga opini ini membuat sebagian kaum muslimin merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits. Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat kaum muslimin menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat banyak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi para pelaku bid’ah. Jika kaum muslimin masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini, maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin dalam menjalankan sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam. Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk mempelajarinya supaya tidak timbul kesalah pahaman, apalagi yang berkaitan dengan permasalahan Hadits Maudhu’ yang dapat menyebabkan tidak diterimanya amal ibadah seorang muslim karena mengamalkan Hadits Maudhu’. 1. Apa itu Hadits Maudhu’? 2. Apa saja macam-macam Hadits Maudhu’? 3. Apa saja faktor penyebab munculnya Hadits Maudhu’? 4. Apa saja ciri-ciri Hadits Maudhu’? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hadits Maudhu’ Hadits palsu dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Hadits Maudhu’. Secara etimologi al-Maudhu’ الموضوع merupakan bentuk isim maf’ul dari kataيضع - وضع. Kata tersebut memiliki makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan, dan mengada-ada. Jadi secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan yaitu hadits yang diada-adakan atau dibuat-buat.[1] Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً. “Dia Hadits Maudhu’ adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”[2] Ada juga yang berpendapat bahwa Hadits Maudhu’ adalah مانُسب الى الرّسول صلى الله عليه وسلّم اختلا قًا وكذبًا ممّا لم يقلْه أو يفعله أو يقرّه “Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara mengada-ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan.”[3] Sedangkan menurut sebagian Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalah هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلّم زورًا وبهتا نًا سواءٌ كان ذالك عمدًا أم خطأً ”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang pendusta, yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.”[4] Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya. B. Macam-macam Hadits Maudhu’ 1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. 2. Perkataan itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits. 3. Perkataan yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya keliru.[5] C. Sebab Kemunculan Hadits Maudhu’ Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.[6] Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut 1. Pertentangan politik Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan kelompok ta’ashub Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing. 2. Usaha kaum Zindiq Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ أناخاتمُ النبيّين لا نبيّ بعديْ إلاّ أن يشاءالله "Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah kehendaki.”[7] 3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian, bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily, salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu mengenai keutamaan Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah hadits.[8] 4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat Kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan. 5. Perbedaan pendapat dalam masalah Aqidah dan ilmu Fiqih Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan pendapat dalam hal aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah Ali bin Abi Thaalib عليّ خيرالبشرمَن شكّ فيه كفر "’Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia telah kafir.”[9] 6. Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan Sebagian orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan kebodohan mereka. Karena Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya. 7. Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya. D. Ciri-ciri Hadits Maudhu’ Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa membedakan antara hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits. Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang diambil dari berbagai sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu 1 Dari segi Sanad Para Perawi Hadits Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini, diantaranya adalah a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh terpercaya yang juga meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukumi palsu. b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits. c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh. Hal ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya. d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait. 2 Dari segi Matan Isi Hadits Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang paling penting untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim kata pendek yang mengandung arti luas.[10] b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia. Contohnya adalah sebuah hadits إنّ سفينة نوحٍ طافتْ بالبيتِ سبعًا وصلّتْ خلف المقامِ ركعتينِ “Bahwasannya kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim.”[11] c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar. Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan dengan al-Qur’an, ialah hadits وَلَدُ الزِّنَا لايَدْخُلُ اْلجَنِّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ “Anak zina itu,tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”[12] Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[13] Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya. d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7 hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua tahun sebelum peristiwa Khoibar. Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu Fathu Makkah pada tahun ke-8 hijriyah.[14] e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk amal yang terlalu ringan atau ancaman yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab mau’izhah. Contoh مَنْ قَالَ لا اِلَهَ اِلا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ “Barang siapa mengucapkan tahlil laa ilaaha illallah maka Allah subhaanahuwata’ala. menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai lisan, dan setiap lisan mempunyai bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.” Bahkan perasaan halus yang diperoleh dari menyelami hadits secara mendalam, dapat juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan Hadits Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam berkata “Bahwasannya diantara hadits, ada yang bersinar, kita dapat mengetahuinya dengan sinar itu, dan bahwa diantara hadits ada hadits yang gelap sebagaimana kegelapan malam, kita mengetahuinya dengan itu.” Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan sebuah hadits, tentu saja berasal dari kalangan para ulama yang telah menguasai betul mengenai seluk-beluk hadits dan ilmu-ilmu lain yang dapat mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah palsu. Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang maudhu’. Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan ini, nyatalah bahwa para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya. BAB III KESIMPULAN Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak melakukan dan tidak mentaqrirkannya. Hadits Maudhu’ bisa berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik itu dari golongan orang biasa yang sengaja membuatnya demi kepentingan tetentu, atau para ahli hikmah, orang zuhud, bahkan Isra’iliyyat. Selain itu bisa juga merupakan kesalahan rawi dalam periwayatan dengan syarat dia mengetahui kesalahan itu namun dia membiarkannya. Kemunculan hadits-hadits palsu berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya para khalifah sebelum Ali bin Abi Thaalib rodliyallahu’anhum, dilanjutkan dengan perseteruan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Sehingga terpecahlah islam menjadi beberapa golongan, yang mana sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al-Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang maudhu’ secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu dilihat dari sudut pandang matan dan sanad. Oleh karena itu para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya. [1] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27. [3] Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm. 141. [4] Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 168-169. [5] Jenis ketiga ini termasuk Hadits Maudhu’ apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya. [6] Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor LESAT Al-Hidayah. 2001. [7] Mahmud HADITS PRAKTIS. Bogor Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112. [8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009. hlm. 191. [9] Mahmud HADITS PRAKTIS. Bogor Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112. [10] Maka setiap kalimat yang jelek tata bahasa dan strukturnya tidak mungkin merupakan sabda Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Hanya saja al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata ”jeleknya tata bahasa tidak selamanya menunjukan bahwa hadits itu palsu, karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan maknanya saja. Namun jika si perawi itu menjelaskan bahwa hal ini adalah teks ucapan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, maka jeleknya tata bahasa menunjukan kepalsuannya. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 38. [12] Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 171. [13] al-An’am 164 [14] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 39.
Jadiurutan hadits yang paling dha'if adalah Hadits Maudhu'. Setelah itu Hadits Matruk. Kemudian Hadits Mungkar. Tapi sebenarnya hadits maudhu' itu bukan merupakan hadits. Ibaratnya seperti seseorang yang ikut kuliah. Tapi tidak pernah mendaftar kuliah. Lalu dia mengaku sebagai mahasiswa. Adapun hadits matruk dan mungkar ini masih hadits.
  • ሂሲ հ ኾդըпኝтаդа
    • Σሡձևմθ ωժевуփ
    • Т ևжоպοհ
  • Ив дроцо
NahBlog Tanya Jawab akan memberikan artikel yang berkaitan tentang pertanyaan yang sedang kamu cari. Disini ada beberapa jawaban mengenai pertanyaan tersebut. Silakan baca lebih lanjut. Pertanyaan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan secara fisik dan diplomasi? Jawaban #1 untuk Pertanyaan: upaya Tanya Jawab 2022
TanyaHadits merupakan situs rujukan bagi kaum muslimin yang ingin mengetahui penjelasan sebuah hadits, validitas hadits, dan lain-lain. Skip to content. Hadits Tentang Imam Musafir Yang Menggenapkan Jumlah Raka'at Shalat November 21, 2019 Agustus 5, 2020 Muhammad Nur Faqih 0. Jadwal Kajian.
Tag tanya jawab hadits maudhu. Hadits Awas Hadits-hadits Palsu Tentang Bulan Rajab. Hadits | Sab 5 Rajab 1441H 29-2-2020M Sab 2 Sya'ban 1443H 5-3-2022M oleh Islam Hari Ini. Pada artikel sebelumya kita telah membahas tentang Hadits-hadits Dhaif Tentang Bulan Rajab. Kali ini kami menyajikan beberapa hadits palsu tentang bulan rajab .
h3hDIy.
  • gg2u5vnv25.pages.dev/26
  • gg2u5vnv25.pages.dev/340
  • gg2u5vnv25.pages.dev/392
  • gg2u5vnv25.pages.dev/397
  • gg2u5vnv25.pages.dev/84
  • gg2u5vnv25.pages.dev/98
  • gg2u5vnv25.pages.dev/251
  • gg2u5vnv25.pages.dev/210
  • gg2u5vnv25.pages.dev/167
  • tanya jawab tentang hadits maudhu